“Kenapa?” Dia bertanya.
“Aku tidak suka laut, please jangan.” Aku menggeleng.
“Sekali ini sajaa, ayolahhh.”
Akhirnya aku tidak bisa menahan
diri untuk mengangguk setelah mendengar rengekan dan melihat kedua mata yang
sengaja dibuatnya bulat, mengingatkan aku pada Puss in Boots di film Sherk. Bulat, memelas, dan berkaca-kaca.
Bisa kau bayangkan? Aku tidak pernah bisa untuk tidak luluh setiap kali melihat
mata itu. Menyebalkan sekaligus menyenangkan untuk menikmati pemandangan itu.
Kami memang selalu bersama. Bisa
diibaratkan kami itu seperti satu paket sendok dan garpu. Makan akan lengkap
apabila menggunakan keduanya bukan? Tapi ya karena seperti sendok dan garpu,
ada saatnya kami bisa digunakan sendiri. Pada artinya, makan tidak harus selalu
menggunakan keduanya. Ada saatnya kau hanya membutuhkan sendok saja, atau kau
bisa menggunakan garpu saja, tergantung pada makanan apa yang kau makan. Dalam
hal ini mungkin aku ibarat garpu, sebab selalu saja ada saat dimana aku tidak
bisa sendiri. Sebenarnya bisa, hanya membutuhkan usaha yang lebih keras, namun
bagaimanapun juga aku membutuhkan sendok. Coba kau bayangkan makan mie ayam
hanya menggunakan garpu? Bagaimana kau bisa menikmati sisa kuah dengan daging
cincangnya jika tidak ada sendok? Apa kau akan menikmatinya menggunakan tangan?
Ya, silahkan jika kau bisa. Makan kuah mie ayam pake tangan.
Sama seperti sendok dan garpu.
Mereka memiliki bentuk yang berbeda. Sama seperti kami, berbeda. Aku dan dia
berbeda. Banyak sekali perbedaan diantara kami. Seperti aku sangat menyukai jus
alpukat, dia tidak. Aku sangat menyukai makanan pedas, dia tidak. Dia suka
nonton film, aku tidak. Kuberitahu satu rahasia ya, sebenarnya pernah kami
menoton film di bioskop, dan aku tertidur di tengah film, aku tidak tahu dia
sadar atau tidak bahwa sebenarnya aku tertidur. Menonton bioskop terlalu
membosankan memang. Tidak bisa di skip. Aku terlalu mudah bosan. Oleh karena
itu, aku juga tidak menyukai perjalanan, dia sangat menyukainya. Ya, aku bukan
seorang penikmat perjalanan, maksudnya aku suka menikmati suasana lain seperti
berwisata atau pun melihat pemandangan di suatu tempat yang lain, tapi aku
tidak suka menikmati perjalanannya, aku tidak suka menghabiskan waktu di jalan,
seandainya pintu kemana saja-nya doraemon itu nyata, pasti aku akan sangat
bersyukur. Hanya tinggal buka pintu, eh langsung sampai di tempat tujuan.
Nha, dia berbeda. Dia sangat
menikmati perjalanan, pernah dia mengatakan bahwa hal yang paling menyenangkan
saat kami bepergian adalah waktu di
jalan. “Apa kamu tidak pernah merasakan sensasi melaju di jalan dengan
cepat?Merasakan angin berusaha menggoyahkan tubuhmu? Itu sensasi yang
menyenangkan.” Dia selalu mengatakan itu. Dan mungkin itu salah satu alasan
kenapa aku tidak menyukai perjalanan. Ya, dia selalu membuat aku berhenti
bernapas dan merasakan jantung ini seakan berhenti berdetak setiap kali
merasakan perjalanan bersama dengannya. Pernah membuatku jatuh dari sepeda
motor sebanyak dua kali dan pernah pula membuat tulang keringnya retak pun
tidak membuatnya gentar untuk tetap melaju dengan cepat di jalan raya.
Hari ini dia mengajakku ke
pantai. Padahal aku tidak suka pantai. Disana pasti panas, ombaknya pasti
besar, kalau tiba-tiba terjadi tsunami bagaimana? Aku kan tidak bisa berenang?
Lalu aku harus lari kemana? Aku kan tidak bisa berlari cepat? Lalu aku harus
apa? Terlalu paranoid bukan? Tapi seperti itulah aku. Terlalu banyak
kekhawatiran yang melanda pikiran dan perasaan. Ibaratnya, berbekal
keparanoid-an ku itu, bisa dihitung dengan tangan, berapa kali aku pergi ke
pantai selama 21 tahun ini. Dan tentu saja, dalam hitungan tangan itu, aku
tidak pernah menyentuh air pantai sama sekali. Miriskah?
“Promise me, aku tidak mau menyentuh air.” Pintaku.
“Iya, iya. Tapi ikut aku kesana.”
Telunjuknya mengarah ke selatan.
Dia menunjuk sesuatu, ke arah
pemecah ombak yang memanjang dari ujung pantai menuju ke tengah laut. Ya, pantai ini memiliki pemecah ombak yang sengaja dibuat oleh karena terkenal memiliki gelombang laut yang besar. Aku mengernyitkan
dahi mengamati pemecah ombak itu. Bisa kau membayangkan bagaimana bentuk
pemecah ombak itu? Pemecah itu berbentuk seperti landasan dermaga yang memiliki
lebar sekitar 3-4 meter, panjangnya aku hitung dengan pandangan mataku sekitar
250 m, berawal dari ujung pantai ini memanjang membentuk lengkungan panjang ke arah
laut lepas, di sebelah kanan dan kirinya terdapat banyak sekali tetrapod. Ya,
tetrapod itulah yang berfungsi sebagai pemecah ombak. Jika kau ingin tau lebih
dalam mengenai tetrapod, bisa kau cari tahu lewat browser di ponselmu.
Dari ujung pantai ini bisa kau
lihat, ombak bergulung-gulung ke arah daratan dan ratusan tetrapod itu dengan
kukuhnya memecah ombak yang tampak garang itu. Menimbulkan suara bergemuruh. Lalu,
buihnya berhamburan membasahi dermaga seperti curahan hujan deras yang
tiba-tiba datang dari langit. Aihh, aku tertawa getir.
“Aku tidak mau. Takut. No way. Thanks.” Jawabku sambil
menyilangkan kedua tanganku di depan dada.
Melihat tingkahku, dia tersenyum.
“Ayo. Kamu akan baik-baik saja,
percaya saja.”
Dia berjalan menuju pemecah ombak
itu, tanpa menarik tanganku, tanpa mencoba mendorong tubuhku, tanpa
memohon-mohon dan berlutut di depanku. Uh. Sepertinya dia terlalu percaya diri
bahwa aku akan mengikutinya. Ah, ya memang. Dengan sebuah helaan napas panjang,
akhirnya aku mengikuti langkah kakinya.
Kami berjalan menyusuri dermaga
itu. Awalnya masih baik-baik saja. Namun, semakin mendekati ujung dermaga
pemecah ombak itu, akan sangat terasa suasana dimana kalian berada semakin
dekat dengan laut. Akan semakin terlihat ombak berwarna biru gelap,yang
bergulung-gulung besar, seakan mencoba untuk membawa kalian, menarik kalian,
namun kemudian renggutan itu terpaksa terhenti oleh halangan tetrapod yang ada,
menghasilkan buih-buih air berceceran membasahi dermaga. Aihh, aku menutup
mataku. Ya, untung saja ada tetrapod yang menjadi penghalang gulungan ombak
itu.
Semakin mendekati ujung, akan
semakin banyak orang yang bisa kulihat. Sungguh pemandangan yang cukup
membuatku heran. Tidak ada raut wajah yang menunjukkan kekhawatiran. Mereka
tampak menikmati apa yang mereka lihat dari ponsel mereka, dengan berbagai
kilatan flash dan suara jepretan kamera. Mereka menikmati pemandangan ini atas
dasar keindahan subjektif foto mereka. Apa mereka tidak sadar bahwa laut yang
ada di bawah mereka itu begitu dalam? Apa mereka tidak sadar akan adanya
gulungan besar ombak yang sewaktu-waktu bisa menarik mereka? Apa mereka tidak
khawatir akan getaran ombak yang terpecah dan memuntahkan buih-buih air ke arah
mereka? Ya, kurasa tidak ada yang merasakan kekawatiran seperti itu selain
aku.
Semakin lama kami semakin dekat
dengan ujung pemecah ombak itu. Semakin bisa kudengar suara ombak yang
menggelegar terpecah batu-batuan,. Semakin
bisa kuraba dengan pandanganku betapa besar ombak yang menggulung menuju
pantai. Seakan mereka berlomba saling mengejar untuk bisa sampai ke daratan
lebih dahulu. Berlomba untuk menjadi yang paling besar dan kuat untuk
menghantamkan diri mereka ke dermaga. Aku mulai takut untuk mendekat. Please
jangan berjalan lebih jauh lagi, aku semakin mengecilkan langkahku. Dia yang
tadi ada di depanku, menengok ke belakang, mungkin sadar karena aku berada
menjauh darinya.
“Davino, aku tidak mau
melanjutkan jalanku, sampai sini saja. Ayo kita pulang.” Aku memohon.
“Tidak apa-apa, kemari saja.
Lihat. Ombaknya tidak sampai kemari. Ini hanya cipratan airnya saja, yang lain
saja berani masak kamu gak berani.”
Aku melihat sekelilingku, ya
memang mereka tampak baik-baik saja, ada yang memandang jauh ke laut, ada yang
berfoto menggunakan ponsel mereka seperti yang aku ceritakan tadi, ada yang menguji keberanian mereka dengan
memanjat tetrapod, ada yang mencoba memancing ikan
–memang ada beberapa jenis ikan yang bisa memanfaatkan tetrapod untuk
habitatnya- ya mungkin hanya aku yang merasa khawatir di ujung itu. Hanya
berdiri mematung, takut untuk melangkahkan kaki lebih jauh lagi.
“Uhh Davino, kau menyebalkan
sekali”. Gereutuku dalam hati. Kemudian aku menggeleng, dan mulai sedikit
marah. Aku merasa takut, aku tidak suka dipaksa.
“Ah aku tidak mau, aku takut. Better if we go home now.”
Sepertinya kacamatanya mulai
sedikit melorot, setelah membetulkan kacatamanya dia melirik dan tersenyum.
Dengan langkah santai, dia berjalan menuju kearahku dan berdiri di sebelah
kananku. Membuatku harus mendongakan kepala hanya untuk sekedar melihat wajahnya.
“Tidak apa-apa, ayo jalan
beriringan denganku.” Dia mengajak dengan wajah tenang.
Dan kau tau? Hal yang lebih menyebalkan
lagi adalah aku menurutinya, menyejajarkan jalanku dan jalannya, beriring
menuju ujung landasan dermaga itu. Dan hanya dengan beberapa langkah, aku –
kami- sampai di ujung pemecah ombak itu. Di ujung itu, cipratan buih-buih air
bisa aku rasakan, getaran-getaran ombak yang terhalang semakin besar, dan yang
pasti gulungan ombak dari laut lepas semakin jelas ketara. Didepanku, didepan
mataku. Kau bisa lihat, warna air laut itu biru gelap dihiasi warna buih putih,
mengingatkanmu akan awan yang ada di langit. Bedanya, awan itu begitu lembut
dan tenang. Sedangkan gelombang ombak ini seakan tampak gusar dan garang.
Dan kau tau? Pemandangan itu
hanya berlangsung beberapa saat. Bahkan kurang dari tiga menit. Bukan karena
aku pingsan. Bukan karena aku menutup mataku. Bukan karena aku berlari kembali
ke daratan di pinggir pantai. Dan bukan juga karena tiba-tiba laut menyusut
sebagai tanda terjadi tsunami.
Namun, sebab setelah itu kulihat
seperti ombak yang cukup besar menuju ke arah kami. Orang-orang disitu mulai
berlari berteriak sambil menyingkir.
“Minggir! Minggir!”
Oh my God, what a big wave comes to me! what
should i do?! Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa bergerak. Aku
bingung. Aku.. aku... aku..... menutup mata.
Nafasku tidak karuan, aku merasa
basah, tapi aku masih bisa berdiri. Hey! I
am alive, aku masih hidup dan berdiri! Dan ketika aku membuka mata kau tau
apa yang aku lihat?
Dia, Davino, membalikkan
badannya. Membiarkan punggungnya menjadi tameng. Tameng kukuh yang tidak
mengijinkan ombak secara langsung menyentuh tubuhku. Dia, Davino, tak kusangka
akan berbuat seperti itu, dia melindungiku. Membalikkan badannya dan
melindungiku dari terjangan ombak yang lolos melewati ratusan tetrapod yang
ada. What a tragic-romantic moment! I’ve never realize that he can be so awesome
like this.
“Are you okay, Nadia?” Dia bertanya sambil melepaskan kacamatanya
yang basah. Tidak, bukan kacamatanya saja yang basah, seluruh tubuhnya basah.
Lebih tepatnya kami berdua saat itu basah kuyub atas gempuran ombak yang baru
saja kami rasakan. Ombak yang sebenarnya cukup kuat untuk mendorong tubuhku
seandainya saja tidak ada dia. Tentu saja, saat itu aku merasa kami sedang
tidak baik-baik saja.
Orang-orang yang tadi berlarian
pun kembali melihat keadaan kami, melihat kami yang baik-baik saja, mereka
menertawakan kami karena hanya kami berdua yang basah oleh ombak itu. Aku
sungguh heran, atas dasar apa mereka tertawa di atas penderitaan kami? Harusnya
mereka bersyukur kami selamat, bukan menertawakan kami. Ironis ketika sebuah
penderitaan menjadi sebuah bahan lelucon yang bisa ditertawakan. But now, accident like that, is a mainstream
thing, which people lauhghing at me like a duff.
“Kenapa kamu tidak lari?” dia kembali
bertanya.
“Entah. Aku tidak bisa. Lalu
kenapa kau juga tidak lari? Kita jadi basah semua. Ini memalukan. ”
Feeling
so bad. Rasanya benar-benar sudah ingin menangis.
Entah apa apa yang sudah
merasukinya, dia malah tersenyum. Sambil melepaskan jaketnya yang ternyata dia memakaikannya
di tubuhku untuk menutupi bajuku yang basah, dia berkata,
“Tidak mungkin aku meninggalkanmu,
Nadia...
Lalu, kuamati dalam satu tarikan
nafas panjang, dia kembali melanjutkan kalimatnya,
“..... kau mau jadi kekasihku?”
Oh Shit. Aku pikir Davino sudah memanfaatkan kejadian ini dengan baik.
Atas alasan apa dia berkata seperti itu di saat seperti ini? Aku memalingkan
wajahku dari pandangannya. Menatap samar laut yang mulai pasang. Aku pikir
pasti Davino merasakan suatu ketidakadilan ketika aku mengalihkan pandanganku
darinya. Aku melihatnya lagi, memandang kedua alisnya berkenyit. Mungkin
menanti jawabanku.
“Davino?” aku menyebutkan namanya,
masih dalam pandangan kosongku diantara gelora ombak yang ada di lautan.
Kulihat jauh disana sepertinya ada kapal kecil melintas. Stop. Itu tidak
penting, jangan perhatikan.
“Ya?” Dia menjawab seakan menanti
kabar gembira keluar dari bibirku yang mulai sedikit terbuka
seakan ingin
mengeluarkan kata-kata yang dinantinya.
Aku memandang matanya, menarik
napas panjang, dan berkata,
“Davino, we have to know the boundaries between us, please?”
Dan dia semakin mengernyitkan
dahinya. Aku pikir, dia tidak mengerti maksudku.
(end)

0 komentar:
Posting Komentar