Disini tertulis segala hal yang menjadi bagian dari goresan di atas kertas kehidupan sebagai sketsa dari gambar yang membentuk diriku.

Sabtu, 30 Januari 2016

Ombak



“Kenapa?” Dia bertanya.

“Aku tidak suka laut, please jangan.” Aku menggeleng.

“Sekali ini sajaa, ayolahhh.”

Akhirnya aku tidak bisa menahan diri untuk mengangguk setelah mendengar rengekan dan melihat kedua mata yang sengaja dibuatnya bulat, mengingatkan aku pada Puss in Boots  di film Sherk. Bulat, memelas, dan berkaca-kaca. Bisa kau bayangkan? Aku tidak pernah bisa untuk tidak luluh setiap kali melihat mata itu. Menyebalkan sekaligus menyenangkan untuk menikmati pemandangan itu.

Kami memang selalu bersama. Bisa diibaratkan kami itu seperti satu paket sendok dan garpu. Makan akan lengkap apabila menggunakan keduanya bukan? Tapi ya karena seperti sendok dan garpu, ada saatnya kami bisa digunakan sendiri. Pada artinya, makan tidak harus selalu menggunakan keduanya. Ada saatnya kau hanya membutuhkan sendok saja, atau kau bisa menggunakan garpu saja, tergantung pada makanan apa yang kau makan. Dalam hal ini mungkin aku ibarat garpu, sebab selalu saja ada saat dimana aku tidak bisa sendiri. Sebenarnya bisa, hanya membutuhkan usaha yang lebih keras, namun bagaimanapun juga aku membutuhkan sendok. Coba kau bayangkan makan mie ayam hanya menggunakan garpu? Bagaimana kau bisa menikmati sisa kuah dengan daging cincangnya jika tidak ada sendok? Apa kau akan menikmatinya menggunakan tangan? Ya, silahkan jika kau bisa. Makan kuah mie ayam pake tangan.  

Sama seperti sendok dan garpu. Mereka memiliki bentuk yang berbeda. Sama seperti kami, berbeda. Aku dan dia berbeda. Banyak sekali perbedaan diantara kami. Seperti aku sangat menyukai jus alpukat, dia tidak. Aku sangat menyukai makanan pedas, dia tidak. Dia suka nonton film, aku tidak. Kuberitahu satu rahasia ya, sebenarnya pernah kami menoton film di bioskop, dan aku tertidur di tengah film, aku tidak tahu dia sadar atau tidak bahwa sebenarnya aku tertidur. Menonton bioskop terlalu membosankan memang. Tidak bisa di skip. Aku terlalu mudah bosan. Oleh karena itu, aku juga tidak menyukai perjalanan, dia sangat menyukainya. Ya, aku bukan seorang penikmat perjalanan, maksudnya aku suka menikmati suasana lain seperti berwisata atau pun melihat pemandangan di suatu tempat yang lain, tapi aku tidak suka menikmati perjalanannya, aku tidak suka menghabiskan waktu di jalan, seandainya pintu kemana saja-nya doraemon itu nyata, pasti aku akan sangat bersyukur. Hanya tinggal buka pintu, eh langsung sampai di tempat tujuan.

Nha, dia berbeda. Dia sangat menikmati perjalanan, pernah dia mengatakan bahwa hal yang paling menyenangkan saat  kami bepergian adalah waktu di jalan. “Apa kamu tidak pernah merasakan sensasi melaju di jalan dengan cepat?Merasakan angin berusaha menggoyahkan tubuhmu? Itu sensasi yang menyenangkan.” Dia selalu mengatakan itu. Dan mungkin itu salah satu alasan kenapa aku tidak menyukai perjalanan. Ya, dia selalu membuat aku berhenti bernapas dan merasakan jantung ini seakan berhenti berdetak setiap kali merasakan perjalanan bersama dengannya. Pernah membuatku jatuh dari sepeda motor sebanyak dua kali dan pernah pula membuat tulang keringnya retak pun tidak membuatnya gentar untuk tetap melaju dengan cepat di jalan raya.

Hari ini dia mengajakku ke pantai. Padahal aku tidak suka pantai. Disana pasti panas, ombaknya pasti besar, kalau tiba-tiba terjadi tsunami bagaimana? Aku kan tidak bisa berenang? Lalu aku harus lari kemana? Aku kan tidak bisa berlari cepat? Lalu aku harus apa? Terlalu paranoid bukan? Tapi seperti itulah aku. Terlalu banyak kekhawatiran yang melanda pikiran dan perasaan. Ibaratnya, berbekal keparanoid-an ku itu, bisa dihitung dengan tangan, berapa kali aku pergi ke pantai selama 21 tahun ini. Dan tentu saja, dalam hitungan tangan itu, aku tidak pernah menyentuh air pantai sama sekali. Miriskah?

Promise me, aku tidak mau menyentuh air.” Pintaku.

“Iya, iya. Tapi ikut aku kesana.” Telunjuknya mengarah ke selatan.

Dia menunjuk sesuatu, ke arah pemecah ombak yang memanjang dari ujung pantai menuju ke tengah laut. Ya, pantai ini memiliki pemecah ombak yang sengaja dibuat oleh karena terkenal memiliki gelombang laut yang besar. Aku mengernyitkan dahi mengamati pemecah ombak itu. Bisa kau membayangkan bagaimana bentuk pemecah ombak itu? Pemecah itu berbentuk seperti landasan dermaga yang memiliki lebar sekitar 3-4 meter, panjangnya aku hitung dengan pandangan mataku sekitar 250 m, berawal dari ujung pantai ini memanjang membentuk lengkungan panjang ke arah laut lepas, di sebelah kanan dan kirinya terdapat banyak sekali tetrapod. Ya, tetrapod itulah yang berfungsi sebagai pemecah ombak. Jika kau ingin tau lebih dalam mengenai tetrapod, bisa kau cari tahu lewat browser di ponselmu.
Dari ujung pantai ini bisa kau lihat, ombak bergulung-gulung ke arah daratan dan ratusan tetrapod itu dengan kukuhnya memecah ombak yang tampak garang itu. Menimbulkan suara bergemuruh. Lalu, buihnya berhamburan membasahi dermaga seperti curahan hujan deras yang tiba-tiba datang dari langit. Aihh, aku tertawa getir.

“Aku tidak mau. Takut. No way. Thanks.” Jawabku sambil menyilangkan kedua tanganku di depan dada.

Melihat tingkahku, dia tersenyum.

“Ayo. Kamu akan baik-baik saja, percaya saja.”

Dia berjalan menuju pemecah ombak itu, tanpa menarik tanganku, tanpa mencoba mendorong tubuhku, tanpa memohon-mohon dan berlutut di depanku. Uh. Sepertinya dia terlalu percaya diri bahwa aku akan mengikutinya. Ah, ya memang. Dengan sebuah helaan napas panjang, akhirnya aku mengikuti langkah kakinya.

Kami berjalan menyusuri dermaga itu. Awalnya masih baik-baik saja. Namun, semakin mendekati ujung dermaga pemecah ombak itu, akan sangat terasa suasana dimana kalian berada semakin dekat dengan laut. Akan semakin terlihat ombak berwarna biru gelap,yang bergulung-gulung besar, seakan mencoba untuk membawa kalian, menarik kalian, namun kemudian renggutan itu terpaksa terhenti oleh halangan tetrapod yang ada, menghasilkan buih-buih air berceceran membasahi dermaga. Aihh, aku menutup mataku. Ya, untung saja ada tetrapod yang menjadi penghalang gulungan ombak itu.  
Semakin mendekati ujung, akan semakin banyak orang yang bisa kulihat. Sungguh pemandangan yang cukup membuatku heran. Tidak ada raut wajah yang menunjukkan kekhawatiran. Mereka tampak menikmati apa yang mereka lihat dari ponsel mereka, dengan berbagai kilatan flash dan suara jepretan kamera. Mereka menikmati pemandangan ini atas dasar keindahan subjektif foto mereka. Apa mereka tidak sadar bahwa laut yang ada di bawah mereka itu begitu dalam? Apa mereka tidak sadar akan adanya gulungan besar ombak yang sewaktu-waktu bisa menarik mereka? Apa mereka tidak khawatir akan getaran ombak yang terpecah dan memuntahkan buih-buih air ke arah mereka? Ya, kurasa tidak ada yang merasakan kekawatiran seperti itu selain aku. 

Semakin lama kami semakin dekat dengan ujung pemecah ombak itu. Semakin bisa kudengar suara ombak yang menggelegar terpecah batu-batuan,. Semakin bisa kuraba dengan pandanganku betapa besar ombak yang menggulung menuju pantai. Seakan mereka berlomba saling mengejar untuk bisa sampai ke daratan lebih dahulu. Berlomba untuk menjadi yang paling besar dan kuat untuk menghantamkan diri mereka ke dermaga. Aku mulai takut untuk mendekat. Please jangan berjalan lebih jauh lagi, aku semakin mengecilkan langkahku. Dia yang tadi ada di depanku, menengok ke belakang, mungkin sadar karena aku berada menjauh darinya.

“Davino, aku tidak mau melanjutkan jalanku, sampai sini saja. Ayo kita pulang.” Aku memohon.

“Tidak apa-apa, kemari saja. Lihat. Ombaknya tidak sampai kemari. Ini hanya cipratan airnya saja, yang lain saja berani masak kamu gak berani.”

Aku melihat sekelilingku, ya memang mereka tampak baik-baik saja, ada yang memandang jauh ke laut, ada yang berfoto menggunakan ponsel mereka seperti yang aku ceritakan tadi, ada yang menguji keberanian mereka dengan memanjat tetrapod, ada yang mencoba memancing ikan –memang ada beberapa jenis ikan yang bisa memanfaatkan tetrapod untuk habitatnya- ya mungkin hanya aku yang merasa khawatir di ujung itu. Hanya berdiri mematung, takut untuk melangkahkan kaki lebih jauh lagi.

“Uhh Davino, kau menyebalkan sekali”. Gereutuku dalam hati. Kemudian aku menggeleng, dan mulai sedikit marah. Aku merasa takut, aku tidak suka dipaksa.

“Ah aku tidak mau, aku takut. Better if we go home now.”

Sepertinya kacamatanya mulai sedikit melorot, setelah membetulkan kacatamanya dia melirik dan tersenyum. Dengan langkah santai, dia berjalan menuju kearahku dan berdiri di sebelah kananku. Membuatku harus mendongakan kepala hanya untuk sekedar melihat wajahnya.

“Tidak apa-apa, ayo jalan beriringan denganku.” Dia mengajak dengan wajah tenang.  

Dan kau tau? Hal yang lebih menyebalkan lagi adalah aku menurutinya, menyejajarkan jalanku dan jalannya, beriring menuju ujung landasan dermaga itu. Dan hanya dengan beberapa langkah, aku – kami- sampai di ujung pemecah ombak itu. Di ujung itu, cipratan buih-buih air bisa aku rasakan, getaran-getaran ombak yang terhalang semakin besar, dan yang pasti gulungan ombak dari laut lepas semakin jelas ketara. Didepanku, didepan mataku. Kau bisa lihat, warna air laut itu biru gelap dihiasi warna buih putih, mengingatkanmu akan awan yang ada di langit. Bedanya, awan itu begitu lembut dan tenang. Sedangkan gelombang ombak ini seakan tampak gusar dan garang.

Dan kau tau? Pemandangan itu hanya berlangsung beberapa saat. Bahkan kurang dari tiga menit. Bukan karena aku pingsan. Bukan karena aku menutup mataku. Bukan karena aku berlari kembali ke daratan di pinggir pantai. Dan bukan juga karena tiba-tiba laut menyusut sebagai tanda terjadi tsunami.

Namun, sebab setelah itu kulihat seperti ombak yang cukup besar menuju ke arah kami. Orang-orang disitu mulai berlari berteriak sambil menyingkir.

“Minggir! Minggir!”

Oh my God, what a big wave comes to me! what should i do?! Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa bergerak. Aku bingung. Aku.. aku... aku..... menutup mata.

Nafasku tidak karuan, aku merasa basah, tapi aku masih bisa berdiri. Hey! I am alive, aku masih hidup dan berdiri! Dan ketika aku membuka mata kau tau apa yang aku lihat?

Dia, Davino, membalikkan badannya. Membiarkan punggungnya menjadi tameng. Tameng kukuh yang tidak mengijinkan ombak secara langsung menyentuh tubuhku. Dia, Davino, tak kusangka akan berbuat seperti itu, dia melindungiku. Membalikkan badannya dan melindungiku dari terjangan ombak yang lolos melewati ratusan tetrapod yang ada. What a tragic-romantic moment! I’ve never realize that he can be so awesome like this.

Are you okay, Nadia?” Dia bertanya sambil melepaskan kacamatanya yang basah. Tidak, bukan kacamatanya saja yang basah, seluruh tubuhnya basah. Lebih tepatnya kami berdua saat itu basah kuyub atas gempuran ombak yang baru saja kami rasakan. Ombak yang sebenarnya cukup kuat untuk mendorong tubuhku seandainya saja tidak ada dia. Tentu saja, saat itu aku merasa kami sedang tidak baik-baik saja.

Orang-orang yang tadi berlarian pun kembali melihat keadaan kami, melihat kami yang baik-baik saja, mereka menertawakan kami karena hanya kami berdua yang basah oleh ombak itu. Aku sungguh heran, atas dasar apa mereka tertawa di atas penderitaan kami? Harusnya mereka bersyukur kami selamat, bukan menertawakan kami. Ironis ketika sebuah penderitaan menjadi sebuah bahan lelucon yang bisa ditertawakan. But now, accident like that, is a mainstream thing, which people lauhghing at me like a duff.

“Kenapa kamu tidak lari?” dia kembali bertanya.

“Entah. Aku tidak bisa. Lalu kenapa kau juga tidak lari? Kita jadi basah semua. Ini memalukan. ”  
Feeling so bad. Rasanya benar-benar sudah ingin menangis.

Entah apa apa yang sudah merasukinya, dia malah tersenyum. Sambil melepaskan jaketnya yang ternyata dia memakaikannya di tubuhku untuk menutupi bajuku yang basah, dia berkata,

“Tidak mungkin aku meninggalkanmu, Nadia...

Lalu, kuamati dalam satu tarikan nafas panjang, dia kembali melanjutkan kalimatnya,

“..... kau mau jadi kekasihku?”

Oh Shit. Aku pikir Davino sudah memanfaatkan kejadian ini dengan baik. Atas alasan apa dia berkata seperti itu di saat seperti ini? Aku memalingkan wajahku dari pandangannya. Menatap samar laut yang mulai pasang. Aku pikir pasti Davino merasakan suatu ketidakadilan ketika aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku melihatnya lagi, memandang kedua alisnya berkenyit. Mungkin menanti jawabanku.

“Davino?” aku menyebutkan namanya, masih dalam pandangan kosongku diantara gelora ombak yang ada di lautan. Kulihat jauh disana sepertinya ada kapal kecil melintas. Stop. Itu tidak penting, jangan perhatikan.

“Ya?” Dia menjawab seakan menanti kabar gembira keluar dari bibirku yang mulai sedikit terbuka 
seakan ingin mengeluarkan kata-kata yang dinantinya.

Aku memandang matanya, menarik napas panjang, dan berkata,

“Davino, we have to know the boundaries between us, please?

Dan dia semakin mengernyitkan dahinya. Aku pikir, dia tidak mengerti maksudku.


(end)
0

0 komentar:

Posting Komentar