Siang hari, gerimis, 22 Maret 2016
Sejak kejadian GMT tanggal 9 Maret lalu, aku memikirkan
sesuatu. Sesuatu yang dulu pernah aku pikirkan dan usahakan untuk kutulis,
tetapi pada akhirnya tulisan itu tidak pernah selesai, bahkan sekarang potongan
tulisan itu entah sudah hilang kemana. Dibawa seorang yang tidak bertanggung
jawab, mengambil leptop dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Tulisan ini
saja juga hampir tidak ada, karena ketika aku memikirkannya, saat itu laptop ku
sedang tidak berada di tanganku, harus di reparasi beberapa minggu. Baru saat
ini aku bisa menulisnya.
Yash, tanggal 9 Maret lalu, di Indonesia terjadi suatu momen
yang sangat langka yaitu Gerhana Matahari Total. Kita bisa melihatnya secara
utuh apabila berada di daerah garis katulistiwa, ya walaupun tidak seluruh garis
katulistiwa terlewati. Karena aku berada di pulau jawa, aku sepertinya hanya
bisa mengalami 80% GMT itu. Namun, bila ingin merasakan suasana 100%nya, kita
bisa melihatnya di TV.
Yang ingin aku ceritakan bukan penjelasan mengenai bagaimana
gerhana matahari itu terjadi, aku hanya ingin menuliskan apa yang aku pikirkan
di balik kejadian itu, bukan, kenangan yang ada di balik kejadian, bukan,
kenangan lama yang tiba-tiba muncul dan terusik akibat adanya kejadian gerhana
matahari. Terlalu melankolis atau berlebihan? Entah. Hanya ingin menuliskan ini
saja. Sebab, sepanjang perjalanan dari Yogya hingga Purworejo waktu itu aku
telah memikirkan apa saja yang akan aku tulis disini.
Mungkin aku harus menuliskan kerangka berpikirnya ya?
GMT 9 Maret -> Gerhana Matahari -> Matahari, bulan,
bumi -> Tata Surya -> Astronomi -> Fisika -> Sains
Paham? Mungkin belum ya. Hm, aku pendekkan, pada intinya GMT
ini mengingatkan kecintaanku pada sains.
Sejak aku masih berada di bangku sekolah dasar, aku tidak
pernah lepas dari berbagai hal mengenai sains. Aku menyukainya, aku tidak
pernah merasa keberatan ketika aku harus membaca buku sains, aku menyukai berbagai
hal dan ilmunya. Hal itu mengantarkanku keberbagai kompetisi dan olimpiade
mengenai sains. Dan bukan besar omongnya saja, saat itu aku selalu mendapatkan
juara. Berkali-kali aku keluar kota, mewakili kabupaten untuk berlomba di
tingkat yang lebih tinggi. Dan hal yang paling berkesan adalah ketika aku
mewakili provinsi untuk olimpiade sains di Jakarta. Saat itu aku tidak sendiri,
ada juga wakil dari kabupatenku yang bisa mewakili provinsi kami, dan kami
berteman sampai saat ini.
Saat itu, aku merupakan seorang anak desa yang benar-benar
belum mengalami kemajuan teknologi berarti, bertemu dengan perwakilan anak-anak
dari seluruh Indonesia. Dari
luarnya, mereka tampak sangat pandai, dengan kulit putih, mata sipit, kacamata,
and english speaking nya membuatku benar
benar minder. Bagaimana tidak saat itu aku masih SD kelas 5, belajar bahasa
inggris baru empat bulan. Mereka? Oke katanya sudah les inggris sejak TK. OH MY
GOD. Aku harus kuat membawa kamus-kamus besar setiap training dan seminar,
mereka? Tinggal dengarkan dan bicara. Selain itu, ada hal yang tak pernah
terlupakan. Waktu itu, kami diberi soal. How
to counting the total amount of hair fastly? Bagaimana cara menghitung
rambut secara cepat. Kami berpikir, dan mengumpulkan jawaban ke depan kelas. Beberapa
jawaban dipilih oleh tutor dan dibacakan. Dan jawabanku termasuk yang dibacakan
dan ditertawakan seluruh isi kelas. Dan ketika ditanya ini lembar jawab siapa,
aku menunduk dengan kemampuan paling dalam supaya tidak seorang pun tahu itu milikku.
Kuberitahu bagaimana cara yang kutuliskan, aku bilang pertama potong rambut
setengan botak tapi jangan sampai terlalu botak, kemudian lapisi kepala dengan
cat hitam, setelah itu tempelkan kain putih ke atas kepala sehingga akan muncul
titik-titik hitam sebagai ujung rambut, kemudian hitung dengan komputer. Itu
jawaban yang kutuliskan di lembarku, yang saat itu sebenarnya aku belum
mengerti kemampuan apa saja yang bisa dilakukan oleh komputer. Banyak yang
sebenarnya terjadi saat itu, tapi aku tidak bisa menuliskan semua, takut
curahan ini menjadi menjemukan.
Dua tahun kemudian aku naik ke junior high school. Disini
aku mengenal suatu bagian dari sains yang lebih menarik yaitu fisika. Aku
sangat menyukai fisika. Dari kelas satu dan dua aku bisa mengerjakan soal
fisika dengan kecepatan yang sama ketika guruku menulis soalnya di papan tulis.
Jadi saat itu tulisanku jelek sekali, karna aku harus bisa menulis soal dengan
cepat sambil menjawabnya. Itu menyenangkan, berlomba dengan guru. Sama seperti
ketika di SD, ketika SMP pun aku diikutsertakan olimpiade fisika hingga keluar
kota. Saat itu, aku mendapat patner seorang jenius, kami berlomba bersama.
Namun, dia mendapatkan takdir yang sangat baik. Dia bisa mendapatkan juara yang
hadiahnya merupakan beasiswa hingga S2, beruntungnya dia. Entah, saat ini dia
berada di negara mana. Aku masih tertahan di sini.
Kemudian ketika aku SMA, kebetulan aku juga masuk ke sekolah
favorit di daerahku, inilah awal perjumpaanku dengan astronomi. Sebenarnya ini
bukan pilihanku, namun guruku yang menuntunku kemari. Saat itu aku terpilih
untuk bisa mengikuti seleksi peserta olimpiade sains. Waktu itu aku masih kelas
10 bersaing dengan kakak kelas untuk menentukan peserta yang akan mewakili
sekolah. Kami mendapatkan soal yang sama. Dan ketika pengumuman aku terpilih
mewakili bidang astronomi. Yah, kenapa bukan fisika? Aku sedikit kecewa ketika
guru fisikaku mengatakan bahwa sebenarnya dalam seleksi peserta fisika kemarin
aku mendapat skor tertinggi, tapi karena aku masih kelas 10 aku dimasukkan ke
astronomi. Oh begitu, membuatku semakin pasrah. Ya, pada saat itu aku belum
belajar banyak mengenai astronomi hingga aku belum bisa menyumbangkan piala
untuk sekolahku. Namun, di kelas 11 aku berusaha semaksimal mungkin sehingga
aku bisa membawa sekolahku ke tingkat provinsi. Perhitungan mengenai jarak
bintang, usia bintang, sudut matahari, memprediksi usia galaksi, perhitungan
supernova, menjadi hal yang menyenangkan. Sejak itu setiap melihat langit
dengan mudah aku bisa menemukan rasi bintang scorpio, gubug penceng, planet
venus, mana bintang yang jauh, mana yang dekat, dan itu menyenangkan. Dan sejak
saat itu aku percaya bahwa untuk mendapatkan yang terbaik memang membutuhkan
persiapan yang matang. Inilah ceritaku mengenai kecintaan terhadap sains, saat
ini aku sudah tidak bisa menikmati itu semua. Aku tidak bisa mendalaminya lebih
baik lagi. Di jurusanku saat ini, bukan sains yang menjadi hal utama, namun
humaniora. Memang pernah dibeberapa semester ada mata kuliah fisika, dan aku
sangat senang ketika akan menerima kuliah itu, namun ekpektasiku terlalu
tinggi, fisika yang kuterima saat itu sama dengan mata pelajaran ipa yang aku
terima saat SD atau paling tinggi yang aku terima saat aku SMP. Dan yang
membuat aku heran, hampir semua teman-teman sekelasku tidak menyukai mata
kuliah itu dan merasa kesulitan ketika mengerjakan nya. Bukan nya sombong, ini
perhitungan waktu itu masih dasar, itu masih sangat mudah.
Sains telah membawaku ke berbagai pengalaman yang tidak
pernah aku lupakan. Aku tidak menyesal pernah mempelajarinya. Namun, hal yang
membuatku sedikit kecewa adalah ketika aku tidak bisa mempelajarinya lagi.
Sedikit demi sedikit, waktu memupusnya dari memori ingatanku, memenuhinya,
menggantinya dengan hal lain. Aku tidak
bisa melanjutkannya, perjalanan sainsku berakhir ketika aku berdiri di jurusan
pilihan terkahirku.
Pernah aku merasa ketidakadilan ketika mereka yang dulu pernah
berjuang bersamaku di dalam sains, yang saat ini bisa berada di kedokteran,
sains, dan teknik, bisa menuangkan ilmunya melalang buana menyeberang pulau dan
negara, sedangkan aku berdiri disini. Inikah yang namanya takdir?
Aku menarik napas dan harus kembali tersadar. Aku sudah
berada di sini hampir 3,5 tahun. Harus bisa menyelesaikannya dan memperbaiki
takdir. Perjuangan belum berakhir, masih
harus kuat dan terus berjuang. Mencintai yang sudah dijalani tanpa keluh. Bersyukur
atas segala sesuatu.

0 komentar:
Posting Komentar