Disini tertulis segala hal yang menjadi bagian dari goresan di atas kertas kehidupan sebagai sketsa dari gambar yang membentuk diriku.

Jumat, 22 Januari 2016

Dia dan Rintik Gerimis di Samping Gereja

dia dan gerimis di sore hari itu, yang selalu membayangiku
Januari, 2012.
Sore hari.
Hujan.
Ya, sore ini hujan. Padahal beberapa menit lagi, aku harus segera berangkat ke gereja. Tak perlu ditebak lagi, aku pasti terlambat. Terlambat menjadi kebiasaanku disini. Bukannya karena aku malas, bukan karena aku tidak siap untuk mencurahkan segala hatiku kepada-Nya. Tapi karena aku merasa tidak ada yang aku tunggu, tidak ada yang menungguku. Untuk apa aku tergesa-gesa?

Aku sudah terbiasa dengan kesendirian. Mungkin lebih tepatnya, saat ini aku lebih nyaman dengan kesendirianku. Hal ini bukan berarti aku seorang pria yang belum pernah merasakan cinta. Aku pernah jatuh cinta. Jatuh cinta kepada seorang wanita yang sangat mengagumkan. Jika kau melihatnya, mungkin kau juga akan setuju dengan pendapatku. Setiap dia tersenyum, dua lesung pipit di pipi kiri dan kanannya ikut muncul. Membuatku secara tidak sadar ikut tersenyum dan menumbuhkan sebuah lesung pipit di  pipi kiriku. Lesung pipit, sebuah cacat otot wajah yang sangat mempesona. Mungkin dari lesung pipit itu pula yang membuatku jatuh cinta. Kau tau, wanita dengan lesung pipit itu sangat.. manis.

Ya, itu sebagian cerita tentang wanita yang pernah kucintai. Namun, saat ini mungkin aku sudah harus mengubur semua rasa itu. Bukan, saat ini aku sudah tidak dapat merasakan semua rasa indah itu. Tidak, yang sebenarnya entah aku masih menyimpan rasa itu atau tidak. Bahkan aku pun tak tahu.

Dulu, aku dan dia sangatlah dekat. Kukira dia memiliki rasa yang sama denganku, ya mungkin iya. Atau mungkin tidak. Aku tidak pernah berpikir logis saat itu. Aku tidak pernah memikirkan prinsip. Ya prinsip. Disini kami berbeda prinsip, kami berbeda Tuhan. Aku hanya berpikir, aku mencintainya. Walau kadang pernah terbersit dalam pikiranku untuk seTuhan dengannya. Aku adalah seorang pecinta sejati, jika aku jatuh cinta kepada seseorang ya memang cinta itu akan aku curahkan sepenuhnya kepadanya. Itu yang membuatku selalu ingin bersamanya, melindunginya, membuat dia bahagia, dan tersenyum. Hanya itu saja.

Dua tahun kami bersama, aku sering mengungkap cinta, namun dia memang tidak pernah membalas ungkapan cintaku. Tapi kami sering bersama, aku sering bersamanya. Kemanapun dia pergi, pasti selalu ada aku. Dan sebaliknya. Segalanya kukorbankan untuknya. Pernah aku mengantarnya pulang ke rumah yang jaraknya dua puluh lima kilometer, saat itu hujan deras. Dengan rela saja kuberikan jas hujanku kepadanya, dan aku dengan basah kuyup terus berjuang untuk mengantarkan sampai rumah. Aku hanya memikirkan dia, tidak memikirkan diriku sendiri. Apakah aku bodoh dalam hal ini? Tidak. Aku menikmatinya. Selain itu, dia selalu mengunkapkan apa yang dia rasakan kepadaku, dia menangis di pundakku. Pernah dia menangis karena cita-citanya terpatahkan, aku yang selalu mendukungnya. Aku menuntunnya untuk kembali bangkit dan menemukan cita-citanya yang saat ini dia pilih. Dengan itu semua, kukira dia juga mencintaiku.

Ya, kukira dia mencintaiku, dengan sebuah pelukan hangat yang dia berikan kepadaku di pinggir pantai waktu itu. Pelukan pertama dari seorang wanita untukku. Akankah dia membalas cintaku? Mengenang kisah itu, aku hanya tersenyum kecut. Tidak. Dia tidak membalas cintaku. Sudah dua tahun kami bersama, dua tahun, dan cintaku belum cukup untuk meyakinkan dia. Disitu, dia mengucap perpisahan. Disitu dia meyakinkan aku, bahwa kami tidak mungkin bersama. Oke, mungkin memang ini takdirnya. Tapi kenapa harus sudah sejauh ini perjalanannya?

Aku menatap langit. Masih mendung. Gerimis. Sepertinya aku harus cepat, lonceng gereja pasti sudah berbunyi sejak tadi.

Sesampainya di gereja, aku berdoa. Aku hanya berdoa kepadaNya. Mungkinkah suatu saat nanti aku akan menemui seorang bidadari cantik yang benar-benar Kau kirimkan untukku? Aku tidak akan meminta dia untuk menghapus lukaku. Aku hanya berharap seorang yang bisa menyusun kebahagiaan lain untukku dengan caranya. Yang pasti tentu saja bisa membuatku hidup kembali. Sebuah kata amin menyelesaikan doaku. Aku tidak pernah berharap lebih untuk bisa kembali menemukan cinta secepatnya. Sampai pada sore ini aku menemukan dia.

Entah kenapa, mata hati ini mulai terbuka. Aku pernah melihatnya, bukan, aku sudah sangat sering melihatnya. Setiap minggu di gereja ini. Aku tidak pernah menemukan suatu yang istimewa darinya. Ya mungkin karena selama ini aku hanya melihat punggungnya. Punggung yang tertutup rambut hitam panjang.

Aku tidak pernah menyangka, di balik gerimis dan hujan sore ini, di samping gereja. Sebuah senyum dan sapaannya, membuatku merasa hidup.

Di balik gerimis itu, aku melihat. Dia tidak berlesung pipit, dia tidak cantik, namun entah kenapa pancaran mata dan senyumnya benar-benar membuatku.. gugup. Oh Tuhan, aku gugup. Aku tidak bisa berkata apa-apa di depannya. Aku hanya tersenyum, merasa panik, dan aku berlalu meninggalkannya di balik hujan. Aku menyesal telah melakukan itu. Aku bahkan tidak memiliki kekuatan untuk sekedar bertanya siapa namanya. Namun, hari ini aku bersyukur kepada-Nya. Mungkinkah ini bidadari yang aku harapkan? Entahlah. Aku bukan seorang yang mudah jatuh cinta dalam pandangan pertama, tapi dia begitu menyenggol jantungku. Sampai berhasil membuatku tidak bisa melakukan hal apapun selain berlalu melewatkannya.

Dalam perjalanan pulangku, aku hanya tersenyum, dan berkata dalam hatiku. Di balik gerimis ini, di samping gereja, aku menemukan dia. Aku meyakinkan diriku bahwa suatu saat nanti aku pasti akan mengetahui hal banyak tentangnya. Atas hari ini, atas senyum indah yang kutemukan dibalik gerimis dan disamping gereja aku sungguh bersyukur kepada-Nya.


2

2 komentar: