![]() |
| dia dan gerimis di sore hari itu, yang selalu membayangiku |
Januari, 2012.
Sore hari.
Hujan.
Ya, sore ini hujan. Padahal beberapa menit lagi, aku harus
segera berangkat ke gereja. Tak perlu ditebak lagi, aku pasti terlambat.
Terlambat menjadi kebiasaanku disini. Bukannya karena aku malas, bukan karena
aku tidak siap untuk mencurahkan segala hatiku kepada-Nya. Tapi karena aku merasa
tidak ada yang aku tunggu, tidak ada yang menungguku. Untuk apa aku
tergesa-gesa?
Aku sudah terbiasa dengan kesendirian. Mungkin lebih tepatnya,
saat ini aku lebih nyaman dengan kesendirianku. Hal ini bukan berarti aku seorang pria yang belum
pernah merasakan cinta. Aku pernah jatuh cinta. Jatuh cinta kepada seorang
wanita yang sangat mengagumkan. Jika kau melihatnya, mungkin kau juga akan
setuju dengan pendapatku. Setiap dia tersenyum, dua lesung pipit di pipi kiri
dan kanannya ikut muncul. Membuatku secara tidak sadar ikut tersenyum dan
menumbuhkan sebuah lesung pipit di pipi
kiriku. Lesung pipit, sebuah cacat otot wajah yang sangat mempesona. Mungkin
dari lesung pipit itu pula yang membuatku jatuh cinta. Kau tau, wanita dengan
lesung pipit itu sangat.. manis.
Ya, itu sebagian cerita tentang
wanita yang pernah kucintai. Namun, saat ini mungkin aku sudah harus mengubur
semua rasa itu. Bukan, saat ini aku sudah tidak dapat merasakan semua rasa
indah itu. Tidak, yang sebenarnya entah aku masih menyimpan rasa itu atau
tidak. Bahkan aku pun tak tahu.
Dulu, aku dan dia sangatlah
dekat. Kukira dia memiliki rasa yang sama denganku, ya mungkin iya. Atau
mungkin tidak. Aku tidak pernah berpikir logis saat itu. Aku tidak pernah
memikirkan prinsip. Ya prinsip. Disini kami berbeda prinsip, kami berbeda Tuhan.
Aku hanya berpikir, aku mencintainya. Walau kadang pernah terbersit dalam
pikiranku untuk seTuhan dengannya. Aku adalah seorang pecinta sejati, jika aku
jatuh cinta kepada seseorang ya memang cinta itu akan aku curahkan sepenuhnya
kepadanya. Itu yang membuatku selalu ingin bersamanya, melindunginya, membuat
dia bahagia, dan tersenyum. Hanya itu saja.
Dua tahun kami bersama, aku sering
mengungkap cinta, namun dia memang tidak pernah membalas ungkapan cintaku. Tapi
kami sering bersama, aku sering bersamanya. Kemanapun dia pergi, pasti selalu
ada aku. Dan sebaliknya. Segalanya kukorbankan untuknya. Pernah aku
mengantarnya pulang ke rumah yang jaraknya dua puluh lima kilometer, saat itu
hujan deras. Dengan rela saja kuberikan jas hujanku kepadanya, dan aku dengan basah
kuyup terus berjuang untuk mengantarkan sampai rumah. Aku hanya memikirkan dia,
tidak memikirkan diriku sendiri. Apakah aku bodoh dalam hal ini? Tidak. Aku menikmatinya. Selain itu, dia selalu mengunkapkan apa yang
dia rasakan kepadaku, dia menangis di pundakku. Pernah dia menangis karena
cita-citanya terpatahkan, aku yang selalu mendukungnya. Aku menuntunnya untuk
kembali bangkit dan menemukan cita-citanya yang saat ini dia pilih. Dengan itu
semua, kukira dia juga mencintaiku.
Ya, kukira dia mencintaiku, dengan
sebuah pelukan hangat yang dia berikan kepadaku di pinggir pantai waktu itu. Pelukan
pertama dari seorang wanita untukku. Akankah dia membalas cintaku? Mengenang
kisah itu, aku hanya tersenyum kecut. Tidak. Dia tidak membalas cintaku. Sudah
dua tahun kami bersama, dua tahun, dan cintaku belum cukup untuk meyakinkan
dia. Disitu, dia mengucap perpisahan. Disitu dia meyakinkan aku, bahwa kami
tidak mungkin bersama. Oke, mungkin memang ini takdirnya. Tapi kenapa harus sudah sejauh ini perjalanannya?
Aku menatap langit. Masih
mendung. Gerimis. Sepertinya aku harus cepat, lonceng gereja pasti sudah
berbunyi sejak tadi.
Sesampainya di gereja, aku
berdoa. Aku hanya berdoa kepadaNya. Mungkinkah suatu saat nanti aku akan
menemui seorang bidadari cantik yang benar-benar Kau kirimkan untukku? Aku
tidak akan meminta dia untuk menghapus lukaku. Aku hanya berharap seorang yang
bisa menyusun kebahagiaan lain untukku dengan caranya. Yang pasti tentu saja
bisa membuatku hidup kembali. Sebuah kata amin menyelesaikan doaku. Aku tidak
pernah berharap lebih untuk bisa kembali menemukan cinta secepatnya. Sampai
pada sore ini aku menemukan dia.
Entah kenapa, mata hati ini mulai
terbuka. Aku pernah melihatnya, bukan, aku sudah sangat sering melihatnya.
Setiap minggu di gereja ini. Aku tidak pernah menemukan suatu yang istimewa
darinya. Ya mungkin karena selama ini aku hanya melihat punggungnya. Punggung
yang tertutup rambut hitam panjang.
Aku tidak pernah menyangka, di
balik gerimis dan hujan sore ini, di samping gereja. Sebuah senyum dan sapaannya, membuatku merasa
hidup.
Di balik gerimis itu, aku melihat. Dia tidak berlesung pipit, dia
tidak cantik, namun entah kenapa pancaran mata dan senyumnya benar-benar
membuatku.. gugup. Oh Tuhan, aku gugup. Aku tidak bisa berkata apa-apa di
depannya. Aku hanya tersenyum, merasa panik, dan aku berlalu meninggalkannya di
balik hujan. Aku menyesal telah melakukan itu. Aku bahkan tidak memiliki kekuatan
untuk sekedar bertanya siapa namanya. Namun, hari ini aku bersyukur kepada-Nya.
Mungkinkah ini bidadari yang aku harapkan? Entahlah. Aku bukan seorang yang
mudah jatuh cinta dalam pandangan pertama, tapi dia begitu menyenggol
jantungku. Sampai berhasil membuatku tidak bisa melakukan hal apapun selain
berlalu melewatkannya.
Dalam perjalanan pulangku, aku
hanya tersenyum, dan berkata dalam hatiku. Di balik gerimis ini, di samping
gereja, aku menemukan dia. Aku meyakinkan diriku bahwa suatu saat nanti aku pasti akan
mengetahui hal banyak tentangnya. Atas hari ini, atas senyum indah yang kutemukan dibalik gerimis dan disamping gereja aku sungguh bersyukur kepada-Nya.

Bagus na ceritanya,, aku suka :D
BalasHapuswah terimakasih
BalasHapus