Disini tertulis segala hal yang menjadi bagian dari goresan di atas kertas kehidupan sebagai sketsa dari gambar yang membentuk diriku.

Rabu, 24 Agustus 2011

Dan Aku apa? Part 4

Raut mukanya berubah. Dia yang tadinya masih terlihat ceria dan segar, tiba-tiba berubah menjadi memerah, sendu. Dan di ujung matanya aku melihat suatu bendungan. Bendungan air mata. Aku menebak. mungkin beberapa detik lagi air matanya akan menetes. Dan dugaanku benar.

“Hans jahat..hiks” Ucapan pertama yang keluar dari mulutnya setelah surat itu habis dibacanya. Dia menangis. Reflek saja, aku langsung mendekatinya dan memeluk tubuhnya yang beraroma buah strawberry itu. Manis sekali wanginya, pikirku. “Hans jahat ay, kenapa dia gak ngasih tau aku sebelumnya..hiks. Dia anggap aku apa, paling enggak kan aku bisa kasih support ke dia..”  Dia masih memelukku. Dan seperti sebuah sugesti, tangisannya menghipnotisku, memaksaku untuk kembali menangis. “Jahaatt…” Kembali kata terucap diantara isak tangisnya. Dan sejak kata itu keluar, akulah yang merasa tersindir. Karena aku egois telah menjadi orang pertama yang menerima kabar ini. Bukan malah si Vivy, pacarnya. Siapa aku? Dan aku apa? Aku bukan siapa-siapa. Hanya seorang pengagum kecil, yang hanya mengharapkan sebuah senyum manis dan perhatian.  Okh, Hans. Kau memang sungguh bodoh. Bodohnya dirimu, telah mengikat hatiku.

“Hans ngomong ke kamu ya, ay? Dia bilang apa? Ada pesan apa nggak?” Ucapnya kembali sambil melepas pelukannya dari tubuhku. Aku mengangguk sambil menghapus air mata yang mengalir diantara pipinya yang halus itu. “Dia bilang, aku harus memberitahumu. Dia minta doa.” Hanya itu yang bisa aku katakan padanya. Tentu saja aku belum memberitahunya tentang benda berkilau itu, karena aku menganggap benda itu diberikannya untukku. Okey, aku kembali bertindak egois.
“tentu, aku bakalan doain dia terus. Tiap hari. Tiap waktu. Tiap aku inget dia, aku bakalan doain dia terus. Aku yakin pasti Tuhan bakalan sembuhin dia.. Aku sayang Hans, ay..” Aku tersenyum. Vivy benar. Dia sayang Hans. Haha, hatiku sakit. Aku mengagumi orang yang salah. Hans sudah memiliki Vivy, yang akan selalu memberikan kasih sayang yang manis untuknya seperti tahun-tahun yang sudah berlalu. Sekarang, aku merasa menjadi sebuah noda yang mewarnai hubungan mereka.

***

Sudah tiga minggu berlalu. Dan hari-hariku dan vivy selalu dihiasi doa-doa kecil untuk kesembuhan Hans. Namun, tidak seperti hari-hari sebelumnya., vivy menjadi lebih pendiam.

Hati itu malam minggu, Vivy sedang berada di rumahku. Waktu itu dia ingin menginap di rumahku.

Tentu saja, alasannya karena kami memilliki banyak proyek tugas, dan date line tugas itu adalah senin besok. Huh, semakin lama aku merasa jenuh untuk sekolah. Aku mulai bosan dengan tugas dan pelajaran2 yang semakin lama semakin berat saja. Belajar, kata mereka sebagai seorang siswa memang memiliki kewajiban untuk belajar. Tapi kalo sudah bosan, terus harus gimana donk? Hoammm.. Sudahlah, aku mulai mengantuk bila harus membahas tentang pelajaran.

Malam itu sekitar pukul setengah delapan kurang lima menit. Kami sedang berada di kamarku. Vivy sedang mengutak-atik laptopnya dan aku sendiri sibuk di depan jendela untuk melihat bintang di langit yang malam itu terlihat banyak bertebaran di langit sambil memeluk bonekaku yang paling aku sayang. Yap, aku suka langit malam. Langit dimana banyak bintang yang bertaburan, memberikan warna yang beragam . Tak lupa, aku memanjatkan harapan-harapan kecil pada bintang-bintang itu untuk kesembuhan Hans.

Tiba-tiba, nada dering spongebob dari hapeku berbunyi.. Telepon, pikirku. Kuraih hapeku yang sebelumnya berada di atas meja. Kulihat nickname kontak yang menghubungi hapeku itu. Buram, tak jelas. Tentu saja, aku belum memakai kacamata.

Kukenakan kacamataku dan kubaca kembali, disitu tertuli.. “Hans!” langsung aku angkat telepon itu. “Halo?” Bersamaan dengan itu vivy beranjak dari tempatnya dan mendekatiku. Mungkin dia juga terkejut dengan teriakanku yang menyebutkan nama Hans. Dia merebut hapeku dan langsung memasangnya di telinganya. Okey, kubiarkan saja, walaupun sebenarnya tak rela…

“Halo??Halo??Hans??” Langsung saja suaranya terlihat bersemangat di dalam telepon itu. Vivy melihatku. Mungkin karena dia memperhatikan wajahku yang juga tak sabar ingin mendengar kabar tentang Hans, dia jadi memencet tombol handsfree, sehingga kami berdua bisa mendengarkan suara dari telepon itu dengan keras. “Halo?” Suara seorang wanita yang kudengar. Mungkin itu ibu Hans. “Tante, bagaimana kabar Hans tante? Hans mana, tant?” Baguslah, Vivy bisa langsung mengenali suara itu. Ya aku tidak heran sih, wong pacarnya Hans, anaknya sendiri gituh?

“ini, vivy ya? Vi, boleh ngomong sama Aya gak? Disitu ada??” Vivy melirikku. Astaga,aku  sangat terkejut adalah, suara sendu Ibu itu menanyakan aku, bukan malah vivy . Okh my God. Aku butuh Oksigen.

“Ini saya Aya, tante? ada apa? ” Aku menjawabnya langsung. Haduhh, aku sangat tidak enak hati dengan vivy.

“Dek, tante minta tolong ya, coba ngomong sama Hans…hiks”. Aku heran, kenapa tiba-tiba ibu Hans menangis. Apa yang terjadi dengan Hans, feelingku sudah tak enak. Begitu juga dengan vivy, hal itu bisa kulihat dari pancaran matanya yang semakin tak jernih saja. Please, vy, jangan nangis sekarang donk… Ntar aku ndak ketularan kamu nih.. pintaku dalam hati.

Lalu, dari telepon itu, ibu itu mengaatakan kalimat yang mungkin benar-benar bisa membuat jantungku dan jantung vivy berdetak lebih cepat dan lebih keras dibanding dengan  ledakan tabung gas tiga kiloan….

“Hans koma, aya.. ”
……


(setengah tamat)
0

0 komentar:

Posting Komentar