Note: Mungkin kalian sudah lupa kisah yang lelu tentang cerita ini. Ini adalah bagian kelima dari cerita Dan Aku Apa. Kisah ini bercerita tentang persahabatan tiga orang remaja kelas dua SMA, Hans, Vivy dan Aya. Dan Hans – Aya adalah seorang pasangan kekasih dalam persahabatan tersebut. Walaupun dalam persahabatan tersebut terdapat satu pasangan kekasih, namun mereka tetap dekat dan tak pernah mengkotak-kotakan. Kisah sebelumnya bercerita kalau Hans menitipkan surat beramplop biru untuk Aya. Ternyata surat itu berisi suatu pemberitahuan kalau si Hans akan pergi ke Singapura untuk menjalani operasi cangkok ginjalnya. Di surat itu juga ada kalung untuk Aya. Namun, aya merasa ada yang aneh, kenapa yang diberitahu bukanlah si Vivy? Yang notabene adalah kekasih Hans? Beberapa bulan kemudian tiba-tiba Ibu Hans menelepon Aya dan memberitahu bahwa Hans telah koma. Sontak, Aya dan Vivy menjadi kaget dan sedih. Ini dia kisah selanjutnya.
Lalu, dari telepon itu, ibu itu mengaatakan kalimat yang mungkin benar-benar bisa membuat jantungku dan jantung vivy berdetak lebih cepat dan lebih keras dibanding dengan ledakan tabung gas tiga kiloan….
“Hans koma, aya.. ”
……
Deg! Jantungku serasa berhenti berdetak. Argh! Apa ini?
“Halo, Aya?” Ibu itu kembali memanggilku. Namun, suaraku seperti telah tercekat di leher. Ingin kukeluarkan, namun hatiku tak mengijinkannnya. Hati ku sesak. Tubuhku lemas. Vivy yang berdiri di depanku pun terlihat semakin buram.
Vivy mendekatiku, raut mukanya pun mulai memfotocopy raut mukaku. Namun tetap saja, dia terlihat lebih cantik. Di mendekatiku, menahan kedua lenganku agar aku tidak jatuh terduduk. Sial. Kenapa dia terlihat lebih tegar daripada aku. Aku menyerahkan hanphone yang dari tangan kananku. Dia pun menerimanya, dengan menarik satu tarikan nafas panjang, aku memperhatikan. Kukira dia akan menerima telpon itu sendirian, sialnya ternyata dia memencet tombol loudspeaker dan meletakkan di lantai kamarku. Arghh… Aku lemas. Kenapa tidak kau dengar sendirian saja, vy? Aku sudah tak kuat menahan semua ini. Hiks. Aku terisak.
Vivy memandang ke arahku. Dan dia mulai berbicara kepada ibu Hans.
“Tante, ini Vivy.” Mata vivy pun ikut berkaca-kaca. “Hans koma tant?”
“huft. Iya, tolong ya. Kalian coba ngomong sama Hans. Tapi yang agak keras. Semoga dengan Hans denger suara kalian, dia jadi cepet sadar.”
Vivy memandang kearahlu yang mulai terlihat kacau dengan ingus dan air mata yang terus saja menetes dari hidung dan mataku. Dia menarik nafas, kemuadian mengangguk. Sambil menepuk bahu kiriku dia berkata.
“Ay, kita coba ngomong ke Hans ya? Kita gak boleh nyerah. Kita harus bisa bangunin Hans, ay.”
Aku yang sudah tak bisa berkata-kata lagi hanya bisa mengangguk.
“Hans.. Hans…” Vivy mencoba berbisik di telepon itu. Namun tak ada jawaban. Jelas, orang koma bagaimana bisa menjawab. Sedikit terbesit dalam pikiranku. Aku belum gila, bagaimana aku harus berkata dan berbasa-basi kepada orang yang seperti ‘tertidur’, sedang aku berbicara kepada orang yang hidup aja sudah sulit. Aku hanya diam seraya melihat Vivy berbisik dan berulang kali memanggil nama Hans. Dia begitu tegar.
“Ay, ayo coba panggil nama Hans, Ay. Biar dia bangun.” Aya membujukku. Aku menggelengakan kepala. Tidakkah dia berpikir, aku sudah tak bisa berkata pa-apa lagi, Nafasku suah sesak, dadaku naik turun menahan isak tangis.
“Ayo, ay” Vivy meminta, dan aku pun masih menggeleng. Aku tidak mau, vy, Aku tidak mau. Itu akan membuat hatiku bertambah sakit. Ucapku dalam hati.
Seperti bisa membaca pikiranku, vivy pun berkata lagi. “Kalu begitu, kita berusaha bersama saja. Okey?” Aku mengangguk.
Dengan isyarat jari tangan menghitung satu sampai tiga, di hitungan ketiga keluarlah suara dari mulutku dan mulut Vivy.
“Ha..hans..hanss” Ucap kami terdengar agak bersamaan, namun suaraku terdengar sumbang karena menahan ingus di hidungku yang berdesak-desakan ingin keluar dari hidungku ini.
Namun, yang kami herankan adalah suara balasan dari handphone tersebut.
“HALO AYA-VIVY ! Ha..ha… ha” Ngek ngok! Itu suara Hans! Pupil mataku membesar. Vivy pun demikian. Beranjak kami berdiri sambil mengangkat hape yang tadi kami letakkan di lantai kamarku tersebut.
“HA..HANS!” Vivy berteriak. Aku hanya terdiam dan terlihat bingung, tapi senang juga. Apa yang sebenarnya terjadi. Tapi ibu Hans bilang kalau Hans koma. Tapi kenapa suara Hans bisa membalas sapaan kami? Aku menghapus air mata dan ingusku. Mendekati Vivy dan menunggu apakah yang akan diucapkannya selanjutnya.
“HAHAHAHA. Iya ini aku, aku tadi Cuma bercanda kalau aku koma kok. Aku Cuma pengen tau, gimana ekspresi kalian. Hehehe. Piss yaa??” Jawab Hans di seberang telepon.
Dan yang aku pikirkan saat itu adalah, betapa bodohnya diriku. Gampang sekali aku larut dan jatuh menangis tersedu-sedu saat mendengar dia koma. Sial! Aku benar-benar merasa bodoh saat itu.
“Dasaar hans! Kita panic banget tau gak sih? Aya aja sampe nangis-nangis gak bisa ngomong apa-apa. Jahat kamu ah Hans.” Ucap vivy membalas kalimat dari Hans.
“Beneran? Aya sampai nangis-nangis? Cengeng ah. Boleh aku ngomong sama aya, vy?”
Sebel. Aku benci kata-kata Hans. Memang aku cengeng. Terus mau apa? Tidakkah kau kau tahu, namamu dan dirimu itu sudah menyelami hatiku, hingga sampai sudut-sudut hatiku mungkin sudah terselipi namamu, Jadi, setiap hal yang menyangkut dirimu hal itu akan berpengaruh juga kepada hatiku. Dan jika hal itu sudah terjadi, aku tak yakin hati dan otakku mampu bekerja secara sinkron. Aku sudah tak bisa lagi mengendalikannya. Dan aku benci akan hal ini. Ini terlalu berlebihan bagiku. Dan aku apa? Aku bukan apa-apa untukmu!
Aya menyodorkan hape ke arahku, Namun aku menolaknya. “Aya gak mau, Hans. Kamu jahat sih? Terus gimana kamu, udah sembuh?” Vivy kembali berbicara lagi kepada Hans.
Oiya, Hans baru saja sakit. Aku hampir lupa akan hal itu. Kalau begitu, aku harus melepaskan rasa sebel ini.
“iya dehh, maaf. Iya, aku dah baikan kok aku kan dah janji bakalan sembuh dan bakalan bareng-bareng sama kalian lagi. Besok aku pulang. Jemput jangan lupa ya, ntar aku sms kapan kira-kira aku sampe di Jogja.Okey?”
“Siap Hans!” Jawab Vivy sangat bersemangatnya. Sebenarnya pembicaraan Vivy dan Hans belum selesai. Mereka masih terus saja asyik ngobrol lewat hape.
Aku memperhatikan Vivy yang mengobrol itu. Aku tak mau mengganggu mereka, so aku hanya diam saja. Pertanyaan konyol pun melayang di otakku. Singapura tuh di luar negeri kan? Emangnya kalau telpon tuh gak mahal ya?
Sudahlah, lebih baik aku menyingkir saja. Dengan berdalih ingin pergi ke toilet. Aku keluar kamar, meninggalkan vivy yang sedang asik mengobrol dengan Hans di kamarku.
Awas saja kau Hans, aku tak akan menjemputmu besok. Argh! Tapi aku merasa diriku ini munafik, di satu sisi aku senang mengetahui bahwa Hans akan kembali ke jogja. Disisi lain aku merasa sedih, berarti setelah ini aku harus bersiap untuk merasa sakit. Berada di tengah –tengah vivy dan Hans. Aku juga bodoh, kenapa aku harus memiliki perasaan seperti ini. Perasaan yang seharusnya tidak boleh tumbuh di tengah kami. Kalau orang berkata ingin memiliki mesin waktu, aku ingin memiliki mesin hati saja. Sehingga aku bisa menyusun rasa-rasa di hatiku ini sesuai yang aku mau. Agar aku bisa membuat suasana menjadi lebih baik, bukan seperti sekarang ataupun seperti dulu saat semua ini belum terjadi. Karena yang aku inginkan bukan hanya kebahagiaanku saja, tapi juga kebahagiaan sahabat-sahabatku. Aku ingin vivy dan Hans bahagia seperti hubungan mereka saat ini jika ini takdir mereka. Makadari itu, aku ingin memiliki mesin hati yang bisa membuat rasa ‘sakit ’ ini menjadi rasa manis, yang mungkin bisa memaniskan hubungan mereka.
Huft. Sesampai di depan cermin di wastafel kamar mandi, aku berhenti. Membasuh mukaku dengan air kran. Lalu tanganku secara reflek mengambil sesuatu dari saku rokku.
“Hans, lalu bagaimana dengan ini? Kalung ini membuatku lebih sakit. Karena kau telah membuatkku merasa istimewa. Ini cantik sekali, Hans.” Bisikku, sambil memandang kalung yang dulu diselipkan Hans di amplop biru kepergiannya. Kalung perak berliontin bunga krisan biru.