Disini tertulis segala hal yang menjadi bagian dari goresan di atas kertas kehidupan sebagai sketsa dari gambar yang membentuk diriku.

Sabtu, 30 Januari 2016

Ombak



“Kenapa?” Dia bertanya.

“Aku tidak suka laut, please jangan.” Aku menggeleng.

“Sekali ini sajaa, ayolahhh.”

Akhirnya aku tidak bisa menahan diri untuk mengangguk setelah mendengar rengekan dan melihat kedua mata yang sengaja dibuatnya bulat, mengingatkan aku pada Puss in Boots  di film Sherk. Bulat, memelas, dan berkaca-kaca. Bisa kau bayangkan? Aku tidak pernah bisa untuk tidak luluh setiap kali melihat mata itu. Menyebalkan sekaligus menyenangkan untuk menikmati pemandangan itu.

Kami memang selalu bersama. Bisa diibaratkan kami itu seperti satu paket sendok dan garpu. Makan akan lengkap apabila menggunakan keduanya bukan? Tapi ya karena seperti sendok dan garpu, ada saatnya kami bisa digunakan sendiri. Pada artinya, makan tidak harus selalu menggunakan keduanya. Ada saatnya kau hanya membutuhkan sendok saja, atau kau bisa menggunakan garpu saja, tergantung pada makanan apa yang kau makan. Dalam hal ini mungkin aku ibarat garpu, sebab selalu saja ada saat dimana aku tidak bisa sendiri. Sebenarnya bisa, hanya membutuhkan usaha yang lebih keras, namun bagaimanapun juga aku membutuhkan sendok. Coba kau bayangkan makan mie ayam hanya menggunakan garpu? Bagaimana kau bisa menikmati sisa kuah dengan daging cincangnya jika tidak ada sendok? Apa kau akan menikmatinya menggunakan tangan? Ya, silahkan jika kau bisa. Makan kuah mie ayam pake tangan.  

Sama seperti sendok dan garpu. Mereka memiliki bentuk yang berbeda. Sama seperti kami, berbeda. Aku dan dia berbeda. Banyak sekali perbedaan diantara kami. Seperti aku sangat menyukai jus alpukat, dia tidak. Aku sangat menyukai makanan pedas, dia tidak. Dia suka nonton film, aku tidak. Kuberitahu satu rahasia ya, sebenarnya pernah kami menoton film di bioskop, dan aku tertidur di tengah film, aku tidak tahu dia sadar atau tidak bahwa sebenarnya aku tertidur. Menonton bioskop terlalu membosankan memang. Tidak bisa di skip. Aku terlalu mudah bosan. Oleh karena itu, aku juga tidak menyukai perjalanan, dia sangat menyukainya. Ya, aku bukan seorang penikmat perjalanan, maksudnya aku suka menikmati suasana lain seperti berwisata atau pun melihat pemandangan di suatu tempat yang lain, tapi aku tidak suka menikmati perjalanannya, aku tidak suka menghabiskan waktu di jalan, seandainya pintu kemana saja-nya doraemon itu nyata, pasti aku akan sangat bersyukur. Hanya tinggal buka pintu, eh langsung sampai di tempat tujuan.

Nha, dia berbeda. Dia sangat menikmati perjalanan, pernah dia mengatakan bahwa hal yang paling menyenangkan saat  kami bepergian adalah waktu di jalan. “Apa kamu tidak pernah merasakan sensasi melaju di jalan dengan cepat?Merasakan angin berusaha menggoyahkan tubuhmu? Itu sensasi yang menyenangkan.” Dia selalu mengatakan itu. Dan mungkin itu salah satu alasan kenapa aku tidak menyukai perjalanan. Ya, dia selalu membuat aku berhenti bernapas dan merasakan jantung ini seakan berhenti berdetak setiap kali merasakan perjalanan bersama dengannya. Pernah membuatku jatuh dari sepeda motor sebanyak dua kali dan pernah pula membuat tulang keringnya retak pun tidak membuatnya gentar untuk tetap melaju dengan cepat di jalan raya.

Hari ini dia mengajakku ke pantai. Padahal aku tidak suka pantai. Disana pasti panas, ombaknya pasti besar, kalau tiba-tiba terjadi tsunami bagaimana? Aku kan tidak bisa berenang? Lalu aku harus lari kemana? Aku kan tidak bisa berlari cepat? Lalu aku harus apa? Terlalu paranoid bukan? Tapi seperti itulah aku. Terlalu banyak kekhawatiran yang melanda pikiran dan perasaan. Ibaratnya, berbekal keparanoid-an ku itu, bisa dihitung dengan tangan, berapa kali aku pergi ke pantai selama 21 tahun ini. Dan tentu saja, dalam hitungan tangan itu, aku tidak pernah menyentuh air pantai sama sekali. Miriskah?

Promise me, aku tidak mau menyentuh air.” Pintaku.

“Iya, iya. Tapi ikut aku kesana.” Telunjuknya mengarah ke selatan.

Dia menunjuk sesuatu, ke arah pemecah ombak yang memanjang dari ujung pantai menuju ke tengah laut. Ya, pantai ini memiliki pemecah ombak yang sengaja dibuat oleh karena terkenal memiliki gelombang laut yang besar. Aku mengernyitkan dahi mengamati pemecah ombak itu. Bisa kau membayangkan bagaimana bentuk pemecah ombak itu? Pemecah itu berbentuk seperti landasan dermaga yang memiliki lebar sekitar 3-4 meter, panjangnya aku hitung dengan pandangan mataku sekitar 250 m, berawal dari ujung pantai ini memanjang membentuk lengkungan panjang ke arah laut lepas, di sebelah kanan dan kirinya terdapat banyak sekali tetrapod. Ya, tetrapod itulah yang berfungsi sebagai pemecah ombak. Jika kau ingin tau lebih dalam mengenai tetrapod, bisa kau cari tahu lewat browser di ponselmu.
Dari ujung pantai ini bisa kau lihat, ombak bergulung-gulung ke arah daratan dan ratusan tetrapod itu dengan kukuhnya memecah ombak yang tampak garang itu. Menimbulkan suara bergemuruh. Lalu, buihnya berhamburan membasahi dermaga seperti curahan hujan deras yang tiba-tiba datang dari langit. Aihh, aku tertawa getir.

“Aku tidak mau. Takut. No way. Thanks.” Jawabku sambil menyilangkan kedua tanganku di depan dada.

Melihat tingkahku, dia tersenyum.

“Ayo. Kamu akan baik-baik saja, percaya saja.”

Dia berjalan menuju pemecah ombak itu, tanpa menarik tanganku, tanpa mencoba mendorong tubuhku, tanpa memohon-mohon dan berlutut di depanku. Uh. Sepertinya dia terlalu percaya diri bahwa aku akan mengikutinya. Ah, ya memang. Dengan sebuah helaan napas panjang, akhirnya aku mengikuti langkah kakinya.

Kami berjalan menyusuri dermaga itu. Awalnya masih baik-baik saja. Namun, semakin mendekati ujung dermaga pemecah ombak itu, akan sangat terasa suasana dimana kalian berada semakin dekat dengan laut. Akan semakin terlihat ombak berwarna biru gelap,yang bergulung-gulung besar, seakan mencoba untuk membawa kalian, menarik kalian, namun kemudian renggutan itu terpaksa terhenti oleh halangan tetrapod yang ada, menghasilkan buih-buih air berceceran membasahi dermaga. Aihh, aku menutup mataku. Ya, untung saja ada tetrapod yang menjadi penghalang gulungan ombak itu.  
Semakin mendekati ujung, akan semakin banyak orang yang bisa kulihat. Sungguh pemandangan yang cukup membuatku heran. Tidak ada raut wajah yang menunjukkan kekhawatiran. Mereka tampak menikmati apa yang mereka lihat dari ponsel mereka, dengan berbagai kilatan flash dan suara jepretan kamera. Mereka menikmati pemandangan ini atas dasar keindahan subjektif foto mereka. Apa mereka tidak sadar bahwa laut yang ada di bawah mereka itu begitu dalam? Apa mereka tidak sadar akan adanya gulungan besar ombak yang sewaktu-waktu bisa menarik mereka? Apa mereka tidak khawatir akan getaran ombak yang terpecah dan memuntahkan buih-buih air ke arah mereka? Ya, kurasa tidak ada yang merasakan kekawatiran seperti itu selain aku. 

Semakin lama kami semakin dekat dengan ujung pemecah ombak itu. Semakin bisa kudengar suara ombak yang menggelegar terpecah batu-batuan,. Semakin bisa kuraba dengan pandanganku betapa besar ombak yang menggulung menuju pantai. Seakan mereka berlomba saling mengejar untuk bisa sampai ke daratan lebih dahulu. Berlomba untuk menjadi yang paling besar dan kuat untuk menghantamkan diri mereka ke dermaga. Aku mulai takut untuk mendekat. Please jangan berjalan lebih jauh lagi, aku semakin mengecilkan langkahku. Dia yang tadi ada di depanku, menengok ke belakang, mungkin sadar karena aku berada menjauh darinya.

“Davino, aku tidak mau melanjutkan jalanku, sampai sini saja. Ayo kita pulang.” Aku memohon.

“Tidak apa-apa, kemari saja. Lihat. Ombaknya tidak sampai kemari. Ini hanya cipratan airnya saja, yang lain saja berani masak kamu gak berani.”

Aku melihat sekelilingku, ya memang mereka tampak baik-baik saja, ada yang memandang jauh ke laut, ada yang berfoto menggunakan ponsel mereka seperti yang aku ceritakan tadi, ada yang menguji keberanian mereka dengan memanjat tetrapod, ada yang mencoba memancing ikan –memang ada beberapa jenis ikan yang bisa memanfaatkan tetrapod untuk habitatnya- ya mungkin hanya aku yang merasa khawatir di ujung itu. Hanya berdiri mematung, takut untuk melangkahkan kaki lebih jauh lagi.

“Uhh Davino, kau menyebalkan sekali”. Gereutuku dalam hati. Kemudian aku menggeleng, dan mulai sedikit marah. Aku merasa takut, aku tidak suka dipaksa.

“Ah aku tidak mau, aku takut. Better if we go home now.”

Sepertinya kacamatanya mulai sedikit melorot, setelah membetulkan kacatamanya dia melirik dan tersenyum. Dengan langkah santai, dia berjalan menuju kearahku dan berdiri di sebelah kananku. Membuatku harus mendongakan kepala hanya untuk sekedar melihat wajahnya.

“Tidak apa-apa, ayo jalan beriringan denganku.” Dia mengajak dengan wajah tenang.  

Dan kau tau? Hal yang lebih menyebalkan lagi adalah aku menurutinya, menyejajarkan jalanku dan jalannya, beriring menuju ujung landasan dermaga itu. Dan hanya dengan beberapa langkah, aku – kami- sampai di ujung pemecah ombak itu. Di ujung itu, cipratan buih-buih air bisa aku rasakan, getaran-getaran ombak yang terhalang semakin besar, dan yang pasti gulungan ombak dari laut lepas semakin jelas ketara. Didepanku, didepan mataku. Kau bisa lihat, warna air laut itu biru gelap dihiasi warna buih putih, mengingatkanmu akan awan yang ada di langit. Bedanya, awan itu begitu lembut dan tenang. Sedangkan gelombang ombak ini seakan tampak gusar dan garang.

Dan kau tau? Pemandangan itu hanya berlangsung beberapa saat. Bahkan kurang dari tiga menit. Bukan karena aku pingsan. Bukan karena aku menutup mataku. Bukan karena aku berlari kembali ke daratan di pinggir pantai. Dan bukan juga karena tiba-tiba laut menyusut sebagai tanda terjadi tsunami.

Namun, sebab setelah itu kulihat seperti ombak yang cukup besar menuju ke arah kami. Orang-orang disitu mulai berlari berteriak sambil menyingkir.

“Minggir! Minggir!”

Oh my God, what a big wave comes to me! what should i do?! Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa bergerak. Aku bingung. Aku.. aku... aku..... menutup mata.

Nafasku tidak karuan, aku merasa basah, tapi aku masih bisa berdiri. Hey! I am alive, aku masih hidup dan berdiri! Dan ketika aku membuka mata kau tau apa yang aku lihat?

Dia, Davino, membalikkan badannya. Membiarkan punggungnya menjadi tameng. Tameng kukuh yang tidak mengijinkan ombak secara langsung menyentuh tubuhku. Dia, Davino, tak kusangka akan berbuat seperti itu, dia melindungiku. Membalikkan badannya dan melindungiku dari terjangan ombak yang lolos melewati ratusan tetrapod yang ada. What a tragic-romantic moment! I’ve never realize that he can be so awesome like this.

Are you okay, Nadia?” Dia bertanya sambil melepaskan kacamatanya yang basah. Tidak, bukan kacamatanya saja yang basah, seluruh tubuhnya basah. Lebih tepatnya kami berdua saat itu basah kuyub atas gempuran ombak yang baru saja kami rasakan. Ombak yang sebenarnya cukup kuat untuk mendorong tubuhku seandainya saja tidak ada dia. Tentu saja, saat itu aku merasa kami sedang tidak baik-baik saja.

Orang-orang yang tadi berlarian pun kembali melihat keadaan kami, melihat kami yang baik-baik saja, mereka menertawakan kami karena hanya kami berdua yang basah oleh ombak itu. Aku sungguh heran, atas dasar apa mereka tertawa di atas penderitaan kami? Harusnya mereka bersyukur kami selamat, bukan menertawakan kami. Ironis ketika sebuah penderitaan menjadi sebuah bahan lelucon yang bisa ditertawakan. But now, accident like that, is a mainstream thing, which people lauhghing at me like a duff.

“Kenapa kamu tidak lari?” dia kembali bertanya.

“Entah. Aku tidak bisa. Lalu kenapa kau juga tidak lari? Kita jadi basah semua. Ini memalukan. ”  
Feeling so bad. Rasanya benar-benar sudah ingin menangis.

Entah apa apa yang sudah merasukinya, dia malah tersenyum. Sambil melepaskan jaketnya yang ternyata dia memakaikannya di tubuhku untuk menutupi bajuku yang basah, dia berkata,

“Tidak mungkin aku meninggalkanmu, Nadia...

Lalu, kuamati dalam satu tarikan nafas panjang, dia kembali melanjutkan kalimatnya,

“..... kau mau jadi kekasihku?”

Oh Shit. Aku pikir Davino sudah memanfaatkan kejadian ini dengan baik. Atas alasan apa dia berkata seperti itu di saat seperti ini? Aku memalingkan wajahku dari pandangannya. Menatap samar laut yang mulai pasang. Aku pikir pasti Davino merasakan suatu ketidakadilan ketika aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku melihatnya lagi, memandang kedua alisnya berkenyit. Mungkin menanti jawabanku.

“Davino?” aku menyebutkan namanya, masih dalam pandangan kosongku diantara gelora ombak yang ada di lautan. Kulihat jauh disana sepertinya ada kapal kecil melintas. Stop. Itu tidak penting, jangan perhatikan.

“Ya?” Dia menjawab seakan menanti kabar gembira keluar dari bibirku yang mulai sedikit terbuka 
seakan ingin mengeluarkan kata-kata yang dinantinya.

Aku memandang matanya, menarik napas panjang, dan berkata,

“Davino, we have to know the boundaries between us, please?

Dan dia semakin mengernyitkan dahinya. Aku pikir, dia tidak mengerti maksudku.


(end)
0

Jumat, 22 Januari 2016

Pengalaman Diet Mayo

Hai,
Disini saya ingin berbagi pengalaman tentang diet saya. Diet pada umumnya memberikan hasil yang berbeda di setiap orang. Biasanya diet dilakukan oleh orang yang ingin menurunkan berat badan atau untuk memulai hidup sehat. Apalagi untuk saat ini, sepertinya masyarakat sudah mulai sadar akan pentingnya hidup sehat. Pentingnya untuk mengatur pola makan supaya badan menjadi terasa bugar, awet muda, panjang umur, dan tentu saja sehat. Diet dalam hal menurunkan berat badan akan lebih berhasil apabila diikuti dengan olahraga. Olahraga ringan seperti jalan cepat, joging, senam aerobik, atau bahkan hanya menari-nari mengikuti musik pun dapat berpengaruh terhadap penurunan berat badan. Yaa tapi paling tidak itu dilakukan secara teratur, kalau dilakukan sebulan sekali ya gak turun-turun.

Disini saya akan berbagi pengalaman mengenai salah satu diet yang pernah saya jalani. Ya saya bilang salah satu karena saya telah mencoba berbagai macam diet yang ada di internet. Dan apakah diet mayo saya ini berhasil? Ikuti cerita saya ya.

Saya tertarik dengan diet mayo saat itu dengan melihat salah satu infotaiment yang menyebutkan salah satu artis menjalani diet mayo sebelum menikah dan kalau tidak salah dia berhasil menurunkan berat badan sebanyak 6 atau 8 kilogram dalam waktu 13 hari. Wow, itu luar biasa menurut saya. Akhirnya saya penasaran ingin tahu lebih dalam tentang diet Mayo. Akhirnya saya pun browsing di internet, mencari tahu tentang diet mayo dan testimoni-testimoni dari orang-orang yang pernah menjalani diet Mayo.

Saya menyimpulkan apa yang saya dapat ya, jadi menurut sumber yang saya baca diet Mayo diperkenalkan oleh Mayo Clinic, salah satu portal kesehatan ternama asal Amerika. Ini adalah salah satu metode diet yang katanya telah teruji dalam berbagai penelitian, diet ini dilakukan dengan menghilangkan/pantang garam serta tidak minum air es dalam menu makanan kita. Diet ini dilaksanakan hanya 13 hari saja dalam setahun dengan menu-menu yang sudah ditentukan. Wacana-wacana di internet mengatakan diet ini bisa menurunkan berat badan hingga 10 kg. Dalam hari saya berpikir, wah lumayan banget dalam 13 bisa turun 8 kilo. Bisa jadi cantik dan langsing dalam sekejap. Namun, dengan catatan kita tidak boleh gagal.

Akhirnya saya mencoba browsing mengenai menu-menu dietnya. Ada banyak versi di internet. Saya mencoba memilih menu yang sekiranya bisa saya dapat sehari hari. Secara saat itu saya sedang kuliah dan status saya sebagai anak kos tentu tidak bisa memaksakan menu yang butuh ongkos besar. Wong ini saja rasanya sudah sangat menguras kantong. Untuk menu yang saya ikuti saya sudah lupa, mungkin kalian bisa browsing di testimoni lainnya. Disini saya hanya akan menceritakan pengalaman saja.

Saya mulai menjalani diet mayo, setiap saya belanja di sup*r *ndo, saya langsung berbelanja untuk kebutuhan menu dua hari. Sebab, saya tidak punya kulkas untuk menyimpan bahan yang berupa sayur-sayuran. Oke sekali belanja bisa habis lebih dari lima puluh ribu. Ya Tuhan, saya mbatin apa bisa dijalani sampe hari ke empat belas. Benar-benar menguras simpenan saya.
Hari pertama kedua masih dengan mudah saya menjalani dan makan menu makanannya. Seperti , sawi rebus, wortel, telur rebus, kentang rebus, apel, daging ayam, tuna, dan daging sapi yang tentunya dimasak dikukus dan tanpa garam itu masih bisa saya telan dengan mudah. Namun di hari-hari setelahnya, mulai hari ke empat saya sudah mulai tidak bisa menelan makanan. Saya merasa benci sekali jika harus makan kentang rebus atau kentang kukus. Saya hanya memasaknya tapi tidak bisa saya telan, pasti saya muntahkan lagi. Hal ini juga berlaku untuk ayam dan tuna. Pernah waktu itu saya sudah memasak ayamnya dan saya bawa ke kampus, niatnya untuk bekal. Namun nyatanya saya tidak bisa memakannya, dan saya kasih saja ke temen kampus waktu itu. Teman saya makan ayam masakan saya itu dengan lahap, katanya enak. Saya sangat heran, padahal bagi saya itu rasanya sangat tidak enak. Menggigitnya seujung gigi saja sudah terasa tidak enaknya.

Karena lama-lama saya mulai merasa eneg setiap kali harus makan menu-menu itu, membuat jumlah makanan yang bisa saya telan menjadi sangat sedikit, saya menjadi sangat lemas. Berangkat kampus sangatlah loyo. Apalagi kalau pas berangkat kampus jalan kaki, waktu berjalan saja rasanya sudah seperti melayang.

Puncaknya di hari kesembilan yang berarti sudah sembilan hari saya diet mayo. Sudah sembilan hari tidak makan nasi. Sudah sembilan hari makan ayam rebus, daging sapi rebus, tuna rebus, kentang rebus dan sawi serta makanan rebus-rebusan lainnya yang makin lama makin tidak bisa saya makan. Nha di hari kesembilan itu saya sudah sulit sekali menelan makanan. Bahkan makan buah apel pun hanya bisa makan separuh saja dalam waktu sehari.

Akhirnya waktu itu, pacar saya memaksa saya untuk menghentikan diet ini. Sebenarnya dia sudah mencoba melarang saya sejak beberapa hari sebelumnya karena merasa diet saya terlalu ekstrim. Tapi karena sayanya keras kepala dan berkehendak untuk menyelesaikan diet ini, dia kalah. Sayangnya di hari kesembilan ini saya yang kalah. Disisi lain saya merasa man-eman, atau sayang banget kalau hanya bisa selesai di hari kesembilan. Tapi waktu itu posisinya saya memang bener-bener lemas dan sudah tidak bisa makan lagi karena nafsunya hilang. Ya sudah akhirnya saya manut dia saja untuk diajak makan. Waktu itu saya bilang saya mau makan asal makan ayam goreng. Ya akhirnya dia membawa saya ke warung ayam goreng fastfood dekat kos.  Saat makan saya hanya bisa makan seperempat porsi nasi dan separuh ayam, sebab saya sudah kehilangan rasa lapar saya sepertinya.  Dannnn setelah makan ayam malahan langung kulit saya bereaksi jadi muncul bintik-bintik merah banyaakk banget. Hwaaa ini kenapaa. Alergi pa ya. Kemudian setelah itu saya ke apotik dan mencari obat alergi.

Ya itu pengalaman diet mayo saya yang gagal. Di akhir diet ini saya hanya turun 2.5 kg. Yahh gak ada 8  kilo. Ya mungkin karena hasil di setiap orang pastinya berbeda. Ada mereka yang berhasil, dan ada yang gagal seperti saya. Tapi dengan pengalaman ini, saya tidak ingin mengulanginya lagi karena tidak kuat makan rebusan-rebusan tanpa garem. Ya mungkin karena saya tidak pandai mengolah makanan juga sih jadi tidak enak. Serta mungkin ada yang salah dengan aturan saya sendiri. Jika ada yang ingin mencoba diet ini dengan tekad kuat, cara yang benar, dan konsisten mungkin bisa berhasil seperti mereka yang berhasil. Buktinya di infotaiment di tivi masih banyak artis yang menerapkan diet ini. Hehe.


Dannn oleh-oleh dari diet ini membuat saya jadi tidak doyan dengan kentang rebus/kukus serta butter khusus yang disarankan untuk diet ini. Sampai saat ini setiap kali saya membaui kentang rebus/kukus butter itu, pasti rasanya langsung pusing dan mual. baru membaui saja sudah seperti itu, apalagi kalau sampai memakannya. 
0

Dia dan Rintik Gerimis di Samping Gereja

dia dan gerimis di sore hari itu, yang selalu membayangiku
Januari, 2012.
Sore hari.
Hujan.
Ya, sore ini hujan. Padahal beberapa menit lagi, aku harus segera berangkat ke gereja. Tak perlu ditebak lagi, aku pasti terlambat. Terlambat menjadi kebiasaanku disini. Bukannya karena aku malas, bukan karena aku tidak siap untuk mencurahkan segala hatiku kepada-Nya. Tapi karena aku merasa tidak ada yang aku tunggu, tidak ada yang menungguku. Untuk apa aku tergesa-gesa?

Aku sudah terbiasa dengan kesendirian. Mungkin lebih tepatnya, saat ini aku lebih nyaman dengan kesendirianku. Hal ini bukan berarti aku seorang pria yang belum pernah merasakan cinta. Aku pernah jatuh cinta. Jatuh cinta kepada seorang wanita yang sangat mengagumkan. Jika kau melihatnya, mungkin kau juga akan setuju dengan pendapatku. Setiap dia tersenyum, dua lesung pipit di pipi kiri dan kanannya ikut muncul. Membuatku secara tidak sadar ikut tersenyum dan menumbuhkan sebuah lesung pipit di  pipi kiriku. Lesung pipit, sebuah cacat otot wajah yang sangat mempesona. Mungkin dari lesung pipit itu pula yang membuatku jatuh cinta. Kau tau, wanita dengan lesung pipit itu sangat.. manis.

Ya, itu sebagian cerita tentang wanita yang pernah kucintai. Namun, saat ini mungkin aku sudah harus mengubur semua rasa itu. Bukan, saat ini aku sudah tidak dapat merasakan semua rasa indah itu. Tidak, yang sebenarnya entah aku masih menyimpan rasa itu atau tidak. Bahkan aku pun tak tahu.

Dulu, aku dan dia sangatlah dekat. Kukira dia memiliki rasa yang sama denganku, ya mungkin iya. Atau mungkin tidak. Aku tidak pernah berpikir logis saat itu. Aku tidak pernah memikirkan prinsip. Ya prinsip. Disini kami berbeda prinsip, kami berbeda Tuhan. Aku hanya berpikir, aku mencintainya. Walau kadang pernah terbersit dalam pikiranku untuk seTuhan dengannya. Aku adalah seorang pecinta sejati, jika aku jatuh cinta kepada seseorang ya memang cinta itu akan aku curahkan sepenuhnya kepadanya. Itu yang membuatku selalu ingin bersamanya, melindunginya, membuat dia bahagia, dan tersenyum. Hanya itu saja.

Dua tahun kami bersama, aku sering mengungkap cinta, namun dia memang tidak pernah membalas ungkapan cintaku. Tapi kami sering bersama, aku sering bersamanya. Kemanapun dia pergi, pasti selalu ada aku. Dan sebaliknya. Segalanya kukorbankan untuknya. Pernah aku mengantarnya pulang ke rumah yang jaraknya dua puluh lima kilometer, saat itu hujan deras. Dengan rela saja kuberikan jas hujanku kepadanya, dan aku dengan basah kuyup terus berjuang untuk mengantarkan sampai rumah. Aku hanya memikirkan dia, tidak memikirkan diriku sendiri. Apakah aku bodoh dalam hal ini? Tidak. Aku menikmatinya. Selain itu, dia selalu mengunkapkan apa yang dia rasakan kepadaku, dia menangis di pundakku. Pernah dia menangis karena cita-citanya terpatahkan, aku yang selalu mendukungnya. Aku menuntunnya untuk kembali bangkit dan menemukan cita-citanya yang saat ini dia pilih. Dengan itu semua, kukira dia juga mencintaiku.

Ya, kukira dia mencintaiku, dengan sebuah pelukan hangat yang dia berikan kepadaku di pinggir pantai waktu itu. Pelukan pertama dari seorang wanita untukku. Akankah dia membalas cintaku? Mengenang kisah itu, aku hanya tersenyum kecut. Tidak. Dia tidak membalas cintaku. Sudah dua tahun kami bersama, dua tahun, dan cintaku belum cukup untuk meyakinkan dia. Disitu, dia mengucap perpisahan. Disitu dia meyakinkan aku, bahwa kami tidak mungkin bersama. Oke, mungkin memang ini takdirnya. Tapi kenapa harus sudah sejauh ini perjalanannya?

Aku menatap langit. Masih mendung. Gerimis. Sepertinya aku harus cepat, lonceng gereja pasti sudah berbunyi sejak tadi.

Sesampainya di gereja, aku berdoa. Aku hanya berdoa kepadaNya. Mungkinkah suatu saat nanti aku akan menemui seorang bidadari cantik yang benar-benar Kau kirimkan untukku? Aku tidak akan meminta dia untuk menghapus lukaku. Aku hanya berharap seorang yang bisa menyusun kebahagiaan lain untukku dengan caranya. Yang pasti tentu saja bisa membuatku hidup kembali. Sebuah kata amin menyelesaikan doaku. Aku tidak pernah berharap lebih untuk bisa kembali menemukan cinta secepatnya. Sampai pada sore ini aku menemukan dia.

Entah kenapa, mata hati ini mulai terbuka. Aku pernah melihatnya, bukan, aku sudah sangat sering melihatnya. Setiap minggu di gereja ini. Aku tidak pernah menemukan suatu yang istimewa darinya. Ya mungkin karena selama ini aku hanya melihat punggungnya. Punggung yang tertutup rambut hitam panjang.

Aku tidak pernah menyangka, di balik gerimis dan hujan sore ini, di samping gereja. Sebuah senyum dan sapaannya, membuatku merasa hidup.

Di balik gerimis itu, aku melihat. Dia tidak berlesung pipit, dia tidak cantik, namun entah kenapa pancaran mata dan senyumnya benar-benar membuatku.. gugup. Oh Tuhan, aku gugup. Aku tidak bisa berkata apa-apa di depannya. Aku hanya tersenyum, merasa panik, dan aku berlalu meninggalkannya di balik hujan. Aku menyesal telah melakukan itu. Aku bahkan tidak memiliki kekuatan untuk sekedar bertanya siapa namanya. Namun, hari ini aku bersyukur kepada-Nya. Mungkinkah ini bidadari yang aku harapkan? Entahlah. Aku bukan seorang yang mudah jatuh cinta dalam pandangan pertama, tapi dia begitu menyenggol jantungku. Sampai berhasil membuatku tidak bisa melakukan hal apapun selain berlalu melewatkannya.

Dalam perjalanan pulangku, aku hanya tersenyum, dan berkata dalam hatiku. Di balik gerimis ini, di samping gereja, aku menemukan dia. Aku meyakinkan diriku bahwa suatu saat nanti aku pasti akan mengetahui hal banyak tentangnya. Atas hari ini, atas senyum indah yang kutemukan dibalik gerimis dan disamping gereja aku sungguh bersyukur kepada-Nya.


2

Selasa, 19 Januari 2016

Remember When

Hai,
14:41



Waktu sudah semakin menunjukkan sore hari. Tapi entah kenapa sulit sekali membuat diri bisa tertidur. Yasudah, yang bisa kulakukan hanya mengutak atik ponsel, laptop, tivi.
Saat mengutak-atik leptop dan membuka browser, iseng saja kubuka blog ini. Melihat daftar entri yang telah lalu. Aku sampai tidak menyangka bahwa blog ini sudah berdiri sejak 2010 lalu, yang artinya sudah enam tahun aku memiliki blog ini.
Setiap membaca entri, dari awal, aku hanya bisa tersenyum. Membaca kepolosanku, membaca kejujuranku dalam menulis segala hal, secara tidak langsung itu membuatku iri. Ingin juga merasakan bisa menuliskan berbagai rasa yang ada, menganalogikan sesuatu, mengenang memori, bagaimana tidak? Kalau aku tidak membuka entri awal di blog ini, sepertinya aku sudah lupa bagaimana dulu aku masuk TK, bagaimana dulu merasakan cinta monyet, bagaimana dulu menangis, bagaimana dulu aku merasa bahagia, dsb. Aku merasa heran bagaimana bisa aku dulu masih bisa mengingat kejadian yang sangat sudah lama terjadi? Ternyata dulu aku cukup hebat kupikir. Ya tidak heran, dulu dengan IQ 130 (yang sekarang sudah  jeblok) ku mungkin bisa melakukan semua itu. Dan masih cukup hebat juga untuk menyimpan sebuah kenangan yang tidak kutulis tapi masih bisa kuingat di setiap tahun bagaimana prosesnya, bagaimana aku tidak mau menyerah kepada takdir, namun pada akhirnya aku kalah,  menyerah, dan menerimanya. Namun, tidak menutup kemungkinan suatu saat aku menulisnya.

Namun, setelah melewatkan semua  ini, aku kembali bisa menyimpulkan sesuatu, alasan kenapa aku dulu bisa bertahan untuk menulis, kenapa aku dulu punya banyak waktu untuk menulis, aku sudah tau jawabannya.

Aku dulu kesepian.

Setiap tulisanku, sepertinya aku tulis ketika aku merasa kesepian, ketika aku tidak berkawan, ketika aku merasa tidak ada yang peduli denganku. Hahaha, sungguh ironi sekali hidupku. Sama seperti saat ini, aku merasa kesepian.

Ya, saat ini aku sudah pindah di lingkungan yang baru lagi. Harapanku, dengan aku pindah kesini, aku akan memiliki lingkungan yang lebih hidup. Walaupun aku memang lebih menyukai sendiri daripada keramaian, tapi aku tidak suka bila aku benar-benar dalam kesendirian. Entah, menurutku sendiri dalam keramaian lebih membuatku merasa... aman dan nyaman. Dengan mendengar suara tawa, suara obrolan, suara orang lain, itu cukup membuatku bisa tidur nyenyak. Intinya, aku tetap butuh orang lain.

Semalam tidak bisa tidur cukup menyiksaku, internet bilang mungkin aku sedang stress. Dan mereka menyarankan mungkin aku bisa dengan menuliskan keluhan dan keresahan supaya bisa merasa lebih rileks. Ya, semoga dengan menulis semua ini, aku bisa tidur nyenyak lagi.

Salam,



0

Sabtu, 16 Januari 2016

Unidentified - Part 1

Aku ingin menuliskan pengalamanku yang mungkin bisa aku ingat sepanjang hidupku. Masa dimana sepertinya aku merasa “aneh”. Entahlah, sulit sih untuk menggambarkannya.
Suatu hari di tahun 2015, aku merencanakan sebuah liburan ke Pandawa Water Park di Solo. Hari minggu di minggu terakhir bulan Maret, aku ke solo berkunjung dan menginap di salah satu sahabatku. Saat itu sebenarnya aku sudah merasa tidak enak badan, namun membayangkan besok senin aku akan bersenang-senang cukup menguatkanku untuk meyakinkan diri bahwa aku sehat-sehat saja. Walau pun malamnya aku pun tetap tidak bisa tidur, aku hanya berpikir mungkin penyebabnya karena adaptasi di tempat yang baru.
Salah satu capture photo di salah satu sudut Pandawa Water Park

Hari senin itu tiba, menyenangkan sekali aku bisa bermain dengan air, mencoba berbagai wahana yang ada disana. Berbekal kartu mahasiswa dan weekday, aku bisa mendapatkan potongan harga tiket masuk yang lebih murah. Aku sangat menikmati suasana saat itu. Dari pagi sampai tengah hari, berenang, basah, dan kepanasan.

Namun, yang akan aku ceritakan bukan saat aku berada di sana. Aku ingin bercerita mengenai kejadian yang terjadi setelah hari itu.

Masih ingat hari itu hari senin? Sorenya setelah puas berenang. Aku pulang ke jogja. Kembali ke kosan. Aku belum merasakan hal aneh yang terjadi. Hal itu baru aku rasakan pada malam harinya.
Biasanya ketika aku tidak bisa tidur, hanya dengan mendengarkan radio, atau mendengarkan musik instrumental favoritku, hanya dengan sekali atau dua kali putar saja aku bisa tertidur. Namun entah kenapa malam itu aku benar-benar tidak bisa tidur. Aku hanya berguling-guling di atas tempat tidurku. Mataku terpejam, namun rasanya pikiranku masih hidup. Musik instrumentalku masih berputar, aku masih sadar bahkan aku bisa menghitung sudah berapa kali musik itu berputar ulang. Ku ganti dengan menghidupkan radio, dan rasanya masih sama. Aneh. Ada yang aneh dengan diriku, dengan tubuhku. Aku selalu berusaha untuk tidur, namun setiap kali menengok jam dan melihat jam sudah berada pada posisi dini hari, semakin paniklah pikiranku. “Aku harus tidur. Aku harus tidur. Aku ingin tidur.” Kata-kata itu terus menari-nari dalam pikiranu bahkan masih bisa mendengarkan setiap kata yang muncul di radio. Ketika sampai kudengar adzan subuh, Ya Tuhan aku belum tidur. Dan aku merasa aneh.

Ya kalian tau bagaimana rasanya menjalani hari ketika malam sebelumnya kalian tidak tidur. Itu hari selasa. Sampai aku bolos kuliah karena sangat tidak enak badan. Singkatnya hari selasa itu malam lagi. Aku pikir aku akan bisa tidur karena malam kemarin aku tidak tidur. Kusiapkan tempat tidurku senyaman mungkin, sengaja aku mempersiapkan diriku lebih awal di tempat tidur. Nyatanya aku tetap tidak tidur, bedanya malam ini sekujur tubuhku panas dan aku menggigil. Sampai aku mengetuk pintu kamar sebelahku memohon aku boleh tidur di kamarnya. Berharap dengan tidur bersama orang lain akan membuat perasaan nyaman dan akan tidur dengan mudah. Kenyataannya tidak. Aku tetap tidak tidur, panas, menggigil, dan lebih bodohnya aku hanya diam saja dan pasrah.

Dua hari tidak tidur terpaksa membawaku ke sebuah klinik kesehatan di dekat kosanku. Dan tetap bolos kuliah yang kesekian. Rasanya sudah lemas dan (tumben) tidak nafsu makan. Dokter menyarankan aku untuk cek darah. Ia menduga aku terkena ISK (infeksi saluran kencing) karena dia tau aku baru saja bermain di kolam renang. Namun, setelah cek darah nyatanya hasilnya negatif. Aku diresepkan obat dan pulang.

Aku meminum obat, tetap lemas, tetap tidak nafsu makan, tetap bolos kuliah, tambah muncul keringat dingin. Entah kenapa setiap kali setelah aku minum obat, tubuhku berkeringat dingin. Apa mungkin ini karena efek obat? Entahlah. Aku sakit apa? Entah juga.

Mungkin aku terlalu merasa bisa mandiri, bahkan dalam keadaan sakit seperti itu aku belum memutuskan diri untuk pulang ke rumah. Masih di jogja.

Tiga hari setelah aku minum obat aku tidak merasa lebih baik. Akhirnya aku memutuskan untuk berobat lagi ke dokter di puskemas, tidak di klinik itu lagi. Aku menceritakan keluhanku, menceritakan obatku, menceritakan semuanya, karena aku ingin sembuh. Dokter mengatakan bahwa ternyata keringat dingin yang muncul itu dikarenakan aku overdosis obat. Dari obat yang sebelumnya diberikan ternyata terdapat dua obat dengan jenis yang sama yang harusnya itu sebaiknya hanya diminum salah satu saja. Jika keduanya diminum bersamaan akan menyebabkan overdosis seperti yang aku alami. Oh begitu. Aku terlalu awam untuk menyadarinya.

Aku cek darah lagi. Negatif DB, negatif malaria, negatif tipes. Tapi jumlah sel darah putihku tinggal separuh di bawah normal. Apa itu yang membuat aku merasa super duper lemas seperti ini? Dokter memberi obat dan memberi pesan jika dalam waktu tiga hari masih tetap lemas, silahkan coba merujuk ke rumah sakit untuk rawat inap.

Oke setelah itu aku pulang kos dan mengabari orang tuaku tentang hal ini. Mendengarnya mereka langsung membuat keputusan untuk menjemputku dan membawaku ke rumah sakit di kampung halamanku. Kenapa harus menunggu tiga hari kalau bisa sekarang ditangani? Aku tidak punya pilihan lain. Aku menunggu mereka. tiga jam kemudian, mereka menemukanku tergeletak tak berdaya di ruang tamu kosanku. Bersambung-
0