Hari itu Minggu, siang dan cuaca amat panas. Sangat enggan untuk keluar rumah. Namun, tiba-tiba dari luar rumah terdengar suara kecil memanggilku. “ Ay ! berangkat yok !”. Ririn yang memanggilku. Oiya, aku ingat, hari ini ada jadwal les akutansi. Euhh, dengan enggan aku keluar rumah dan meminta Ririn untuk berangkat lebih dulu saja, daripada harus menungguku lama. “Oke deh, see ya !” Dia pergi sambil menarik gas motornya. Dan seperti biasa, sebenarnya itu hanya untuk alasan saja, karena aku memang tidak akan berangkat les siang ini. Maaf ya rin, aku bohong.
Setelah motor Ririn sudah tak tertangkap oleh mataku di ujung jalan itu. Aku berbalik menuju pintu rumah dan berniat akan segera mendinginkan kepala ini di bantal-bantalku. Namun, sebelum aku berhasil menarik gagang pintu. Ada suara motor berhenti di depan pintu gerbang. Aku menengok. Kaget melihat orang yang sangat aku kenal itu. Namun aku hanya diam saja. Dia membuka helmnya dan sambil membawa suatu amplop. Sayangnya, aku tak bergerak ataupun berkutik sedikitpun ketika dia mulai berjalan mendekat. Dia tersenyum, dan itu sangat manis. Semakin membuatku tak berdaya untuk menggerakkan kaki-kakiku ini. Dia menghentikan langkahnya beberapa meter di depanku. “Hey ay? Kamu gak nyuruh aku masuk nih?”. Dia bicara sambil menggerakkan telapak tangannya untuk membangunkan aku dari lamunanku. Sedikit gelagepan, Aku memberikan isyarat agar dia mengikutiku masuk ke dalam rumah. Entah kenapa aku ini. Aku merasakan sesuatu yang berbeda dari dia hari ini. Hans. Dia temanku, entah bisa dibilang teman atau sahabat. Yang kutahu, kami dekat.
Kami duduk di ruang tamu rumahku. Namun ada yang kurang, biasanya kami duduk disini bertiga. Aku, Hans dan Vivy. Namun, siang ini gerangan apa yang terjadi kenapa Hans tidak mengajak Vivy bersamanya.
“Okh, aku baru tahu kalo sekarang membolos les itu udah jadi kebiasaanmu yang baru”. Itulah kalimat dari mulut Hans yang mengawali pembicaraan kami di ruangan itu yang sebelumnya hening. Aku hanya tersenyum kecut mendengar ucapannya. Dan dia pun membalas senyumku, dan tetap manis sekali. Membuat rasa yang meledak-ledak di jantungku. Kuharap dia tak bisa mendengar degup jantungku yang benar-benar menggetarkan tubuhku ini. Okh Tuhan, aku bisa gila jika dia terus saja menunjukkan senyumnya itu.
Pandangannya berkeliling. Kulihat dua mata yang jernih dan kecoklatan di balik kacamata kotak dengan frame hitam yang sangat serasi dengan warna kulit wajahnya. Dia menangkap mataku. Okh shit ! aku tidak menyukai saat-saat seperti ini. Saat-saat dimana kedua mata kami saling bertemu. Serasa dia menghisap seluruh darah di tubuhku hingga aku melemas. Mungkin seandainya dia Edward Cullen seperti cerita di Twilight, aku akan merelakan darahku dihisap seluruhnya. Hm, namun itu hanya fantasy saja. “itu amplop apa?” Kataku sambil melirik amplop yang ada di tangan kanannya itu. Aku menghela nafas. Merasa beruntung bisa mengucapkan sesuatu sebelum darah dalam tubuhku ini benar-benar habis.
Kembali lagi dia tersenyum. Mungkin sebentar lagi aku pingsan. Seharusnya aku merasa biasa saja padanya. Sebab kami telah berteman sejak kami memasuki SMA yang sama dan telah 3 tahun kami bertiga mendapat kelas yang sama. Namun, entah kenapa akhir-akhir ini aku memiliki rasa yang aneh padanya. Sejak peristiwa ulang tahun Vivy yang ketujuh belas bulan lalu. Akan aku ceritakan nanti.
“Ini amplop untukmu.” Katanya sambil menyerahkannya untukku. Aku menerimanya. Amplop berwarna biru langit, warna favoritku. Kulihat-lihat, tak ada nama pengirim. Hanya ada namaku, Aya Andini. Aku mengambil ancang-ancang untuk membukanya. Namun, sebelum aku berhasil merobek bibir amplop itu. Dia menghentikanku. “jangan dibuka sebelum aku pulang”. Aku mengernyitkan dahi. “Kenapa?”. Dia melihat amplop yang kupegang itu. “Gak apa-apa. Gak asik aja kalo kamu jadi ngalihin perhatianmu sama amplop itu.” Aneh sekali jawabannya. Namun aku pun mengangguk dan meletakkan amplop itu di meja. Dia mengambil majalah yang ada di bawah meja. Aku memperhatikannya membuka-buka majalah itu. Sepertinya tak ada suatu yang menarik di halaman-halaman. Tanpa sadar aku menguap beberapa kali. Dia melihatku. Oops. Sebuah senyum kembali terlihat menghias bibirnya.
“Aku pulang deh. Kamu isstirahat aja. Mukamu dah mirip banget sama bantal.” Dia bangkit berdiri, membenarkan letak kacamatanya dan melangkah menuju pintu keluar. Aku mengikutinya dari belakang. Dan aku juga benci menyadari aku hanya setinggi pundaknya saja. Setelah Dia bersiap dengan helm dan motornya, “Jangan lupa amplopnya dibaca dan jangan kecewa ya?”. Aku memasang muka bertanya-tanya. Dan dia tertawa melihat hal itu. Deretan gigi putih berjajar dengan kompaknya. Dan langsung menancap gas motor vespanya. Tertawa kecil aku melihatnya mulai melaju menggunakan vespa yang sangat debanggakannya itu, membuat rasa kantukku menjadi hilang.
Aku berbalik menuju meja dimana aku meletakkan amplop biru muda itu. Kurobek bibir amplop itu dan kuambil kertas yang ada di dalamnya. Bersamaaan dengan itu Ada sesuatu yang jatuh dari dalam amplop biru itu. Apa ini? Kupungut sesuatu yang berkilau itu dari lantai. Aku mulai merasa ada sesuatu yang aneh dengan hal ini. Dan berharap Hans tidak melakukan sesuatu yang bisa membuatku gila. “Okh, Hans… Jangan lakukan hal aneh yang semakin bisa membuatku gila dengan rasa yang kumiliki ini..”
Ku buka surat itu dan kubaca pelan-pelan..
“Sial.… U’re crazy boy, Hans”
Bersambung……
(apa isi sebenarrnya dari surat biru itu? Ikuti kisahnya yaa..)
Senin, 30 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar