Aku langsung berlari ke mengambil hapeku dan menekan nomor-nomor yang sudah sangat aku hapal. Dengan gemas ingin sekali aku mempercepat bunyi tut tut yang ada di telepon ini. Berharap ada jawaban halo dari seberang telepon. “Ayolah Hans, angkat teleponku…” Keluhku karena tak kunjung ada jawaban dari orang yang membuatku jadi seperti ini. Berkali kali kucoba. Namun tetap saja tak ada hasil. Kulirik jamku itu, mungkin sudah sepuluh menit lewat aku berusaha untuk menelpon ini.
Dan bunyi tut tut pun berhenti, kudengar suara yang sangat ku hafal ini, “Halo?Halo?”. Too bad, yang terdengar hanyalah suara tawa orang yang sedang kuajak telepon ini. Menyebalkan sekali, emosiku malah dibalas dengan tawa. “Sudah dibaca suratnya ya?Jangan marah deh… Hehehe.”. Dia menjawab sepertinya sambil menahan tawa. Lucu, seperti kuda yang meringkik dan sangat khas. Hah. Aku menikmatinya, tawa yang pasti akan aku rindukan ini. Tak sediktpun aku kembali bicara menanggapi tawanya itu. Dan, pandanganku semakin buram. I hate it. Aku menangis. Mungkin suara yang terdengar di telinga Hans hanyalah suara isakan tangis kecilku. “Eh, ay? Kamu gak papa kan?” Suara Hans kembali terdengar dari telepon ini, dan terdengar sedikit khawatir. “Jangan nangis donk. Gak lama kok. N smuanya bakal baik-baik aja. Percaya deh. ” Dia menenangkan aku. “Bego. Hans Bego. Kenapa harus lewat surat? Teknologi tuh sekarang dah maju. Telpon kek. Sms kek. Atau ngomong langsung kan praktis. N kenapa baru ngmong sekarang ?Dasar.. hiks.” Akhirnya akupun kembali bisa bicara. Aku sungguh menyesalkan hal ini. Kenapa Hans memberitahukan suatu yang begitu penting ini lewat surat dan kenapa ia memberitahukannya sekarang. Bukan sedari dulu.
“Gak papa, biar surprise aja. N biar keliatan romantis gitu. Jarang-jarang kan..hehehe.”Dia kembali tertawa. Dia benar-benar aneh. Di saat seperti ini masih juga bisa tertawa. Romantis bagaimana, dalam surat itu tak sedikitpun dia bicara tentang cinta. Dan itu membuatku sedikit lega dan kecewa juga sih. Tapi tetap saja, isi keseluruhan surat itu membuatku menjadi tidak keruan. “Vivy tau?” Aku mencoba bertanya. “Tau, kalo kamu yang kasih tau ntar. Kasih tau yaa..”. Astaga, suara manjanya itu. Ahh! Sadarkah ia kalo setap kata yang keluar dari mulutnya itu selalu membuatku menjadi seorang yang penting dan special. Hatiku. Uh, aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Stop ay ! jangan biarkan dirimu terbang dulu, sekarang berpikirlah realita. Pikirkan Hans, temanmu ini yang akan memperjuangkan hidupnya.
“Hapeku udah harus mati nih, nangisnya berhenti donk..” Katanya lagi. Oke, memang seharusnya begitu, sebab saat ini Hans sedang berada di Bandara Adi Sucipto dan bersiap untuk terbang ke negeri singa. Singapura. Untuk melakukan operasi cangkok ginjalnya. Aku semakin berpikir, sebenarnya yang bego itu Hans atau aku sih. Slama ini aku tak pernah menyadari kalau seorang Hans memiliki penyakit yang menurutku horror itu. Aku tak pernah berpikir bahkan bertanya lebih lanjut, kenapa setiap hari Jumat sore dia tak pernah mau diajak keluar atapun sekedar berjalan-jalan bersamaku dan Vivy. Yang kini kusadari, kalau ternyata setiap hari itu mungkin dia harus cuci darah.
Ingin sekali aku menghentikan tangisku, tapi sulit. “Hans bego pulang kapan?”. Hans hanya tertawa mendengar pertanyaanku ini. “Ya, kurang lebih satu bulanan mungkin. Kalo lama-lama, ntar kamu sama vivy ndak ikut-ikutan sakit malarindu. Hahaha”. Aduhh Hans, sehari gak ketemu aja udah kena malarindu, bagaimana harus menunggumu hingga satu bulan, bisa-bisa aku dan vivy harus masuk ICU karena sakit malarindunya sudah sangat akut. Dasar Hans bego.
Sesaat,tak ada pembicaraan. Hanya suara yang cukup ramai di sisi Hans. Dan mungkin suara nafasku yang tidak teratur karena dijejal oleh ingus dan tangisku ini juga ikut meramaikan suara-suara itu. “Ay ? Gak papa ya? Pasti balik kok..” Uhh. Harus itu. Kau memang harus kembali Hans. Aku harus melihat kau tersenyum lagi untukku. Sebab, hanya hal itu yang mampu menyadarkanku bahwa aku sebenarnya masih punya jantung yang setiap detik berdetak di dalam dada ini.
Aku mencoba kembali mengeluarkan beberapa susuanan kata yang sebenarnya berat ini. “Hey, terus gimana aku harus ngomong sama vivy? Gimana sama temen2 ? gimana sama kamu ? Aku takut Hans..” yang kudengar kembali hanya suara terkekeh kecil. “Tenang aja, aku bakalan baik-baik aja kok. Udahh dehh, kamu gak pernah secerwet ini biasanya. Doakan aku saja..” Dia mencoba menenangkan aku. “Terus benda berkilau itu ? Hans? Apa maksudnya? ” Tak ada jawabnya, kata terakhirnya “bye…” Hanya bunyi tut tut tut yang kudengar dibalik telepon ini. Menyebalkan sekali, kuulangi untuk menghubungi nomornya kembali. Tapi sia-sia saja. Sudah tidak bisa dihubungi. Aku sadar, mungkin dia memang sudah harus berangkat.
Telepon kuletakkan kembali di tempatnya. Aku jatuh terduduk. Dengan tangan kiriku masih memegang surat biru langit itu. Dan sebuah benda berkilau yang menurutku sangat indah ini. Semakin aku memandang kedua benda itu, semakin buram mataku untuk melihat. Hah. Lagi. Aku menangis.
Mungkin ini sedikit berlebihan. Namun entah kenapa aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku akan selalu mendoakan kelancaraan operasi Hans dalam setiap helaan nafasku.
“huft.. Hans bego.” Aku terus mencoba menenangkan paru-paruku dengan menghirup nafas panjang. Kulirik jam di dinding. Jarum pendek di situ berhenti di angka lima dan jarum panjang bergerak menuju angka sebelas. Dan kuikuti detak jam bergambar hello kitty itu, adakah yang salah, aku menebak. Mungkin saja detak jantungku lebih lambat daripada detik jam yang berjalan itu. Dan sebentar lagi mungkin aku akan mati. Karena sang pendorong gerak jantungku sedang pergi untuk sebuah usaha supaya jantungnya sendiri bisa terus berdetak
Dan aku ingat sesuatu. Vivy ! apa yang harus kukatakan padanya dengan semua ini?? Hah, Hans bego sekali sih. Kenapa yang diberitahu lebih dulu itu aku bukan malah vivy, pacarnya itu.. Dan sekarang, apa yang harus aku lakukan…..
Ahh…. Daka… daka… daka.. !
Bersambung…
*daka : bodoh ; jepangan..hehe
(maaf ya kalo agak bingung)
Rabu, 01 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar