Disini tertulis segala hal yang menjadi bagian dari goresan di atas kertas kehidupan sebagai sketsa dari gambar yang membentuk diriku.

Rabu, 01 September 2010

Dan aku apa? (part.3)

Gubrakk ! Gubrakk ! Hosh.. Hosh.. Capekk…. Pelajaran pertama hari ini olahraga. Anak-anak harus berlari memutari lapangan sebanyak lima kali. Dan ini putaran ke empatku, harus memutar sekali lagi supaya aku bisa menyebutkan nomorku di ujung lapangan ini. Tentu saja, itu syarat agar aku bisa mendapatkan nilai. Tapi aku sudah capek dan lemas. “Ayo donk ay! Skali lagi! Ayo ayo…gud luck gudluck ! Berjuanng !” Vivy menepuk bahuku. Masih sambil tertawa. Seperti biasa, dia salah satu yang masih terlihat segar dan fit untuk bisa memutari lapangan ini sebanyak apapun. Aku hanya mengangguk menanggapinya. Dan segera berlari kecil untuk mengejarnya yang semakin mendekati garis finish.

“Hosh….Hosh… Lima..” Aku segera menyebutkan nomor absenku. Lirih bahkan hampir tak tersengar, sebab suaraku saja sudah balapan dengan suara nafasku yang tidak teratur ini. “Berapa?” Sial, sepertinya guru ini tidak mendengar ucapanku. Aku sudah terlalu lemas untuk bersuara lebih keras. Kulirik Vivy. Kemudian dia yang menggantikanku berteriak.“Lima Pak!”Guruku mencatatnya di daftar nama, mencatat waktuku. Thanks vy…

Aku berjalan lunglai menuju kamar mandi. Lemas. Rasanya seperti ingin mengeluarkan semua yang ada dalam perutku ini. Sungguh aku ingin muntah. Tangan kecil tiba-tiba menggandengku. Tanpa kutengok, sudah pasti bisa kutebak. Vivy tentu saja. “Habis dari kamar mandi, ntar langsung ke uks aja yahh. Gak usah ikut plajaran dulu deh…” Ucapannya selalu penuh perhatian. Membuat setiap orang yang kenal pasti akan selalu betah untuk berteman dengannya. Apalag dia termasuk aktifis di di sekolah. Dia juga cantik. Rambutnya lurus sebahu dan selalu rapi diikat dibelakang. Wajahnya pun manis menurutku. Tingkahnya yang selalu ceria, membuatnya terlihat semakin lucu. Kembali ke ajakannya, aku pun hanya bisa mengangguk, tanpa melihat kearahnya, sudah sangat mual alasannya. “Ay, Hans gak masuk kenapa ya?” tanyanya lirih.. “Howeekkkss…” Too bad, belum sampai tujuan, isi perutku sudah keluar. Pertanyaan yang tidak ingin aku dengar.

Huft. Sebenarnya aku sangat ingin memberitahu Vivy. Namun, aku masih merasa takut dan bingung. Bingung harus mulai bicara darimana. Dan bingung juga apakah aku harus menceritakan semuanya termasuk surat biru dan benda berkilau itu. Aku tak ingin melihat Vivy sedih. Tapi aku juga tak mau merasa egois dengan menyimpan semua ini sendiri. Vivy lebih berhak tahu atas ini. Bukan aku. Baiklah, aku akan berniat cerita saat pulang nanti. Setelah aku keluar dari ruangan yang sebenarnya paling kuhindari di sekolah ini karena mitosnya. UKS.

“Ay ! aku anter pulang ya? ” Vivy dengan motor mio merahnya bergerak mendekatiku yang sedang berdiri di depan pintu gerbang sekolah menunggu angkot untuk pulang. Ditawari seperti itu, langsung saja tanpa banyak bicara aku terima dan duduk di jok motornya. Pepatah kan bilang tak baik untuk menolak rejeki. Hehehe

Aku memang pendiam. Dan sepanjang perjalanan pulang pun, si Vivy lah yang mendominasi pembicaraan sebab aku memang tak banyak bicara. Suara-suara dari mulutku mungkin hanya sekedar menjawab pertanyaan2 saja darinya. Namun, ada juga satu pertanyaan yang sulit kujawab lagi. Padahal aku sudah bertekad untuk menjelaskan semuanya. “Ay, Hans kenapa ya? Dari kemarin sama sekali gak kontak aku. Cuma sms aja enggak jal? Kenapa ya? Tadi dia juga gak masuk… Aku jadi khawatir dehh..” Oh my God ! Beri aku nafas.. Serasa nafasku habis. Aku tak mampu mengeluarkan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya ini. Jika aku jawab pastinya suasananya gak bakalan tepat. Bagaimana ini. Aku juga gak pandai buat ngomong. Di sekolah saja tiap kali ada penilaian pidato atapun penilaian untuk bicara di depan kelas, aku selalu saja ikut remidi. “Ay ? Kok diem sih.. Eh. Apa kita ke rumahnya saja ya…. Atau telpon y? Tapi gak pernah nyambung. Hapenya juga.. nyebelin. Hans kayak ilang dehh.” Dia kembali bicara karena tak ada tanggapan dari pertanyaan pertama. Hah. Ke rumahnya? Percuma Vivy. Kalu kamu tahu saja, aku sudah ke rumahnya kemarin. Dan rumahnya kosong. Dan jelas saja telponnya gak pernah nyambung. Gak bakalan ada yang ngangkat telponnya di rumahnya lahh. Dan berkali-kali, bahkan tiap lima menit berlalu aku mencoba menghubungi telepon genggamnya pun tak pernah terhubung. Memang benar, kesannya Hans seperti menghilang.

Aku berpikir bagaimana harus menjelaskan semua ini. “Vy, kerumahku dulu saja. Perutku sakit.” Haha. Kata2 bohong akhirnya keluar juga dari mulutku. Sebenarnya perutku sudah baik-baik saja. Itu hanya sekedar intermeso untuk mengalihkan perhatian Vivy dari Hans. “Eh? Perutmu masih sakit ya, Ay ? Oke dehh. Tapi jangan muntah disini lho..” Yez ! Berhasil. Vivy percaya kata-kataku. Ohk Tuhan, maafkan hambamu ini yang semakin lama menabung dosanya…

Aku memang bukan orang yang pandai menyusun kata-kata untuk bicara secara langsung. So, aku memiliki sedikit rencana untuk memberitahu tentang Hans.

Vivy duduk di ruang tamuku. Masih memakai seragam. Berbeda sekali dengan Hans yang sebelumnya tidak tertarik dengan majalah remaja yang ada di bawah meja. Vivy sangat antusias sekali, setiap halaman yang menurutnya menarik dibacanya dengan penuh. Kemudian dikomentarinya. Dasar cewek, memang tak pernah lepas dengan kesan cerewet. Lho? Tapi aku tidak cerewet. Lalu aku apa donk?

Kemudian aku masuk kamar untuk mengambil sesuatu. Membulatkan keberanian dengan hal yang akan kulakukan ini.

“Vy, ini” Kusodorkan surat biru itu. Dia membolak-balik amplopnya, melihat ada stiker hello kitty disitu. Okey, aku sengaja menempelnya untuk menutup namaku yang tercantum disitu. Memang sedikit bodoh sih. Tapi paling enggak itu bisa sedikit membantu untuk memanipulasikanya. Kemudian dari bibir amplop yang telah kurobek itu. Diambilnya surat didalamnya.

“Hm? Apa ini, Ay ?” Belum sempat kujawab. Dan memang aku tidak berniat untuk menjawab. Dia mulai membacanya.

Kulirik jam hello kitty di dinding. Kenapa jarum detiknya berhenti? Astaga. Aku kehabisan nafas. Memperhatikan raut muka Vivy yang mulai berubah. Astaga, matanya melirik ke arahku….

Ayolah detik jam, berjalanlah.. Jangan berhenti dan membiarkan aku mati saat ini…


Bersambung..

(……………….)
5

5 komentar: