Disini tertulis segala hal yang menjadi bagian dari goresan di atas kertas kehidupan sebagai sketsa dari gambar yang membentuk diriku.

Sabtu, 15 Juli 2017

Dia, Sendu.

"dia pantas buat diperlakukan dengan layak. "


Kalimat itu adalah sebuah ungkapan kasihan (mungkin) setelah mendengarkan sebuah perjalanan yang sudah terlampaui setahun ini.
Sebuah jalan yang awalnya sulit dan berlalu dengan tetesan air mata kelemahan.
Dia bahkan sudah lupa bagaimana rasanya melalui harinya.

Mungkin dia terjebak di antara kesulitan dan kenyamanannya.
Dia di dalam kisi ambiguitas. Sebab dia pun tak paham cara memaknai.  Bukan karena dia tidak memakai hati, malahan dia terlalu memaksa hatinya.  Dia lupa hatinya pernah sakit dan terluka, namun masih saja bekerja dengan keras.

Dia tidak berpikir.  Entah tidak bisa berpikir atau karena sudah tumpul.  Dia ingin berpikir tapi hatinya tidak menginginkannya.

Sepertinya dia butuh konsistensi.  Dia tidak punya itu. Hatinya tidak memiliki kata itu.  Dia tidak terlatih.

Dia,  Sendu. (1)

0

Sabtu, 05 November 2016

Aku Berantakan

Entah apa ini namanya. Hidup sungguh berliku. dan aku benar-benar mengalaminya. Berbagai tikungan tajam dengan jarak yang dekat. Berkelok membawa gejolak karna distorsi yang terlalu besar. Atau bahkan gaya sentripetal mungkin bisa membuatku terlempar dari lintasan?

Apakah aku pembawa sial? Atau orang yang tidak beruntung? Atau entah apalah itu namanya.
Seseorang menyebutku sebagai orang yang tidak bejo. Segala sesuatu di awal yang seperti terlihat begitu mudah untukku selalu meninggalkan sebuah kesan keburukan atau kesan kesialan untukku. 

Terlalu kasarkah aku menyebutnya sebagai kesialan? Atau sandungan hidup? Atau lika liku kehidupan seperti di awal? Aku ingin menulis banyak. Tapi terlalu banyak yang ingin aku ungkapkan mengenai kerikil-kerikil ini sampai aku bingung bagaimana harus menyusunnya. Kalimatku berantakan. Diksiku kacau. Sebentar, memangnya pernahkah aku punya diksi dan susunan kalimat yang rapi? Jangan mimpi.

Ya, benar. Aku merasa kacau. Menangis setiap hari sebagai sebuah luapan pun hanya meninggalkan suatu kesadaran kalau aku harus berhati-hati. Beban hidup itu besar, kawan. Tapi jangan salahkan Tuhan, semua ini berawal dan berakhir dari pilihanmu sendiri. Lalu, bagaimana dengan hal yang terjadi namun itu semua di luar kemampuanku? Di luar pilihanku? Bukankah tak ada satu kebetulan pun di luar kuasa Tuhan? Kutarik napas, sadar. Tetap. Semua salahku. 

Aku tidak bisa menjelaskan satu persatu apa yang terjadi. Biarlah aku mengingatnya kemudian berangsur lupa. Di akhir kalimat ini akhirnya aku tahu, aku kurang bersyukur. Aku kurang berusaha. Kurang berusaha untuk merasa sakit yang lebih lagi kah? Sakitnya terasa menjalar dari tengah dada hinggu rongga perut. Hey, dimana kupu-kupu? Ahh Sudah. Cukup sekian. Aku berantakan. Jangan pahami, sampai kapan pun kau tak kan mengerti apalagi mencoba peduli.
0

Rabu, 11 Mei 2016

Mengapa peduli?

Hei.. mengapa kamu peduli?
Sedang dia tak sebersitpun ada hal tentangmu?

Entah..

Mengapa kamu peduli?
Sedang dia tak akan pernah memikirkan luka mu.

Biar..


Kutanya lagi, mengapa peduli? Hal ini akan selalu terulang sepanjang hidupmu!

Biarkan saja.

Lagi, mengapa peduli? Sedang kau tak pernah memikirkan luka yang tak pernah kering itu.


Mungkin suatu saat kering.


Kapan? Ketika hal ini terulang. Lukamu akan selalu basah.


Salahku.


Lalu sampai kapan kau akan menyalahkan dirimu sendiri?


Sampai aku tidak ingat lagi pernah merasakan luka ini.


Sudahlah. Jangan pedulikan!

Tidak bisa.

Dasar bodoh.

Ya memang.

Kau ingin luka mu kering?

Tentu. Bagaimana?

Cari kebahagiaan lain! Buat saklar kebahagiaanmu sendiri! Jangan biarkan saklarmu dia pegang!

Tidak bisa. Bahkan aku tidak yakin saklar itu ada atau tidak untukku.


Aku heran denganmu.


Aku juga heran dengan diriku sendiri.


Lakukan sesuatu untukmu sendiri. Buat dirimu bahagia. Kumohon.

Aku hanya bisa menunggu.

Bodoh. Kau selalu bodoh.

Tidak. Aku hanya menunggu.

Baiklah terserah kau saja. Ingatlah, kebahagiaanmu kebahagiaanku.

Tentu saja. Kau adalah pikiranku.

Dan kau hatiku.


0

Kamis, 31 Maret 2016

Cooking vs Me

Donat kentang, resep andalanku yang dirindukan.
Dont judge the taste by the shape!


Di siang yang mendung ini, tiba-tiba kepengen nulis tentang ini. Memasak. Suatu kata yang menjelaskan kegiatan atau proses mengolah berbagai bahan mentah yang beraneka ragam menjadi makanan yang bisa dikonsumsi dan dicerna dengan bahagia. Pengertian itu aku buat sendiri, jadi jangan salahkan ya?

Akhir-akhir ini aku sudah tidak pernah lagi memasak makanan. Ya, mentok masak mie instant atau goreng tempe masih kadang aku lakukan. Eh tapi aku punya satu resep makanan yang selalu dirindukan oleh keluarga dan kekasihku, donat kentang! Ya cuman itu makanan terenak yang sering aku buat. Jadi yang aku maksud tidak pernah lagi memasak adalah masakan yang berupa sayur-sayuran yang membutuhkan berbagai rempah sehingga bisa dimakan. Terus, atas dasar apa tiba-tiba aku sangat jarang sekali terlihat di depan kompor di kosan atau di rumah? Yes, karna sepertinya aku tidak berbakat memasak. T.T

Sebelumnya aku senang sekali memasak. Jangan salah pengertian ya, aku hanya senang memasak, bukan pandai memasak. Jadi, entah kenapa setiap masakan yang aku masak itu belum pernah bisa terasa pas dan enak di mulut. Di rumah setiap aku masak bapak mesti komentar, “kok anyep?” “Djan iki rasane opo.” Haaa sedih banget. Udah seneng masak tapi gak pernah enakkk. Padahal setiap kali aku masak aku pasti melihat resep dan cara masak yang aku lihat di internet. Pasti lho.

Ada suatu kejadian yang membuat aku saat ini vakum memasak. Beberapa waktu lalu, aku rajin berbelanja ke pasar, membeli berbagai bahan makanan untuk dimasak. Aku pernah membeli nasi rames pake sayur tauge dicampur tempe rasanya enak banget. Aku mencoba untuk memasaknya. Membeli berbagai bahan yang dibutuhkan di pasar. Cukup percaya diri bisa masak dengan enak.
 Sesampainya di kosan aku pun mengolah berbagai masakan itu sesuai dengan resep yang aku dapat dari internet. Kurang asin, tambah garam. Keasinen, tambah kecap. Oiya pake saus tiram (sebelumnya aku belum pernah masak menggunakan ini), aku masukkan sebungkus. Terus rasanya jadi asinnnn banget. Asin amis-amis campur aduk. Duh, aku gak suka rasanya ini terus tak tambahin aja air lagi terus tambah kecap. Aduk-aduk-aduk. Mateng. Aku anggap selesai. Terus aku makan itu untuk porsi sehari. Rasanya bukan tidak enak. Tapi entah nano-nano sekali. Jauh dari yang aku perkirakan. Aku belum kapok, besoknya aku masih ingin memasak masakan lain.

Hari berikutnya, hmm sepertinya masak sop sawi sama tahu enak ya. Aku membeli berbagai bahan yang ada dibutuhkan dan memasaknya juga sesuai resep pasar deket kosan. Sama seperti sebelumnya, tata cara masak aku ikuti dari internet. Setelah aku potong-cuci-masukkan-plung-plung-plung. Jadilah masakanku aku anggap matang. Kubawa masakan itu ke kamar dengan senyum senyum. Wah, dari penampilan masakanku, sepertinya yang ini enak. Setelah aku icipi, aku menelan, dan tarik napas. Mataku terpejam dan aku sadar bahwa ini adalah makanan tertidak enak yang pernah aku masak. Sekali suap, cukup tidak ada rasanya, suap lagi, sulit sekali menelannya, suap lagi, nangis sambil mual-mual. Hwaaa aku nangis, merasakan ketidakenakan masakan yang aku buat sendiri. Benar-benar sungguh tidak enak. Aku pun bercerita dengan salah satu sahabatku, dia malah tertawa sangat bahagia mendengar ceritaku. Dia bilang “Ada ya orang masak malah mual mual habis makan masakannya sendiri.” Yes, kuakui memang itu aku. Aku tidak menyukai masakanku sendiri. Sejak saat itu, selera memasakku hilang, bukan hilang, terpendam (karna aku berharap kelak akan muncul lagi). Aku sedang di masa tidak ingin memasak lagi.

Kejadian ini sudah sebulan lalu terjadi, hal ini tiba-tiba ingin aku tulis karena beberapa waktu lalu aku melihat sebuah post di instagram yang mengatakan bahwa katanya, “Kelak wanita yang pandai berdandan akan kalah dengan wanita yang pandai memasak.” Wah, pernyataan itu langsung masuk hatiku, sudah tidak pandai berdandan, tak pandai pula memasak. Ouch, I am out!

Namun, untuk calon suamiku kelak, jangan kuatir. Besok kalo kita sudah menikah, pasti aku bisa memasak kok (Itu motivasi yang ibuku berikan). Aku tidak akan membiarkan mu kelaparan, tapi jangan mengeluh ya kalau misal pagi hari aku cuman bisa masak telur goreng atau nasi goreng saja. Atau besok kita bisa masak bareng-bareng? Lebih romantis kita!

PS : Mungkin salah satu alasan makananku tidak enak karena aku paling anti dengan MSG/michin/dll, belum pernah masak memakai penyedap makanan.


0