Disini tertulis segala hal yang menjadi bagian dari goresan di atas kertas kehidupan sebagai sketsa dari gambar yang membentuk diriku.

Kamis, 31 Maret 2016

Cooking vs Me

Donat kentang, resep andalanku yang dirindukan.
Dont judge the taste by the shape!


Di siang yang mendung ini, tiba-tiba kepengen nulis tentang ini. Memasak. Suatu kata yang menjelaskan kegiatan atau proses mengolah berbagai bahan mentah yang beraneka ragam menjadi makanan yang bisa dikonsumsi dan dicerna dengan bahagia. Pengertian itu aku buat sendiri, jadi jangan salahkan ya?

Akhir-akhir ini aku sudah tidak pernah lagi memasak makanan. Ya, mentok masak mie instant atau goreng tempe masih kadang aku lakukan. Eh tapi aku punya satu resep makanan yang selalu dirindukan oleh keluarga dan kekasihku, donat kentang! Ya cuman itu makanan terenak yang sering aku buat. Jadi yang aku maksud tidak pernah lagi memasak adalah masakan yang berupa sayur-sayuran yang membutuhkan berbagai rempah sehingga bisa dimakan. Terus, atas dasar apa tiba-tiba aku sangat jarang sekali terlihat di depan kompor di kosan atau di rumah? Yes, karna sepertinya aku tidak berbakat memasak. T.T

Sebelumnya aku senang sekali memasak. Jangan salah pengertian ya, aku hanya senang memasak, bukan pandai memasak. Jadi, entah kenapa setiap masakan yang aku masak itu belum pernah bisa terasa pas dan enak di mulut. Di rumah setiap aku masak bapak mesti komentar, “kok anyep?” “Djan iki rasane opo.” Haaa sedih banget. Udah seneng masak tapi gak pernah enakkk. Padahal setiap kali aku masak aku pasti melihat resep dan cara masak yang aku lihat di internet. Pasti lho.

Ada suatu kejadian yang membuat aku saat ini vakum memasak. Beberapa waktu lalu, aku rajin berbelanja ke pasar, membeli berbagai bahan makanan untuk dimasak. Aku pernah membeli nasi rames pake sayur tauge dicampur tempe rasanya enak banget. Aku mencoba untuk memasaknya. Membeli berbagai bahan yang dibutuhkan di pasar. Cukup percaya diri bisa masak dengan enak.
 Sesampainya di kosan aku pun mengolah berbagai masakan itu sesuai dengan resep yang aku dapat dari internet. Kurang asin, tambah garam. Keasinen, tambah kecap. Oiya pake saus tiram (sebelumnya aku belum pernah masak menggunakan ini), aku masukkan sebungkus. Terus rasanya jadi asinnnn banget. Asin amis-amis campur aduk. Duh, aku gak suka rasanya ini terus tak tambahin aja air lagi terus tambah kecap. Aduk-aduk-aduk. Mateng. Aku anggap selesai. Terus aku makan itu untuk porsi sehari. Rasanya bukan tidak enak. Tapi entah nano-nano sekali. Jauh dari yang aku perkirakan. Aku belum kapok, besoknya aku masih ingin memasak masakan lain.

Hari berikutnya, hmm sepertinya masak sop sawi sama tahu enak ya. Aku membeli berbagai bahan yang ada dibutuhkan dan memasaknya juga sesuai resep pasar deket kosan. Sama seperti sebelumnya, tata cara masak aku ikuti dari internet. Setelah aku potong-cuci-masukkan-plung-plung-plung. Jadilah masakanku aku anggap matang. Kubawa masakan itu ke kamar dengan senyum senyum. Wah, dari penampilan masakanku, sepertinya yang ini enak. Setelah aku icipi, aku menelan, dan tarik napas. Mataku terpejam dan aku sadar bahwa ini adalah makanan tertidak enak yang pernah aku masak. Sekali suap, cukup tidak ada rasanya, suap lagi, sulit sekali menelannya, suap lagi, nangis sambil mual-mual. Hwaaa aku nangis, merasakan ketidakenakan masakan yang aku buat sendiri. Benar-benar sungguh tidak enak. Aku pun bercerita dengan salah satu sahabatku, dia malah tertawa sangat bahagia mendengar ceritaku. Dia bilang “Ada ya orang masak malah mual mual habis makan masakannya sendiri.” Yes, kuakui memang itu aku. Aku tidak menyukai masakanku sendiri. Sejak saat itu, selera memasakku hilang, bukan hilang, terpendam (karna aku berharap kelak akan muncul lagi). Aku sedang di masa tidak ingin memasak lagi.

Kejadian ini sudah sebulan lalu terjadi, hal ini tiba-tiba ingin aku tulis karena beberapa waktu lalu aku melihat sebuah post di instagram yang mengatakan bahwa katanya, “Kelak wanita yang pandai berdandan akan kalah dengan wanita yang pandai memasak.” Wah, pernyataan itu langsung masuk hatiku, sudah tidak pandai berdandan, tak pandai pula memasak. Ouch, I am out!

Namun, untuk calon suamiku kelak, jangan kuatir. Besok kalo kita sudah menikah, pasti aku bisa memasak kok (Itu motivasi yang ibuku berikan). Aku tidak akan membiarkan mu kelaparan, tapi jangan mengeluh ya kalau misal pagi hari aku cuman bisa masak telur goreng atau nasi goreng saja. Atau besok kita bisa masak bareng-bareng? Lebih romantis kita!

PS : Mungkin salah satu alasan makananku tidak enak karena aku paling anti dengan MSG/michin/dll, belum pernah masak memakai penyedap makanan.


0

Selasa, 22 Maret 2016

Dibalik Gerhana Matahari



Siang hari, gerimis, 22 Maret 2016

Sejak kejadian GMT tanggal 9 Maret lalu, aku memikirkan sesuatu. Sesuatu yang dulu pernah aku pikirkan dan usahakan untuk kutulis, tetapi pada akhirnya tulisan itu tidak pernah selesai, bahkan sekarang potongan tulisan itu entah sudah hilang kemana. Dibawa seorang yang tidak bertanggung jawab, mengambil leptop dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Tulisan ini saja juga hampir tidak ada, karena ketika aku memikirkannya, saat itu laptop ku sedang tidak berada di tanganku, harus di reparasi beberapa minggu. Baru saat ini aku bisa menulisnya.
Yash, tanggal 9 Maret lalu, di Indonesia terjadi suatu momen yang sangat langka yaitu Gerhana Matahari Total. Kita bisa melihatnya secara utuh apabila berada di daerah garis katulistiwa, ya walaupun tidak seluruh garis katulistiwa terlewati. Karena aku berada di pulau jawa, aku sepertinya hanya bisa mengalami 80% GMT itu. Namun, bila ingin merasakan suasana 100%nya, kita bisa melihatnya di TV.
Yang ingin aku ceritakan bukan penjelasan mengenai bagaimana gerhana matahari itu terjadi, aku hanya ingin menuliskan apa yang aku pikirkan di balik kejadian itu, bukan, kenangan yang ada di balik kejadian, bukan, kenangan lama yang tiba-tiba muncul dan terusik akibat adanya kejadian gerhana matahari. Terlalu melankolis atau berlebihan? Entah. Hanya ingin menuliskan ini saja. Sebab, sepanjang perjalanan dari Yogya hingga Purworejo waktu itu aku telah memikirkan apa saja yang akan aku tulis disini.
Mungkin aku harus menuliskan kerangka berpikirnya ya?
GMT 9 Maret -> Gerhana Matahari -> Matahari, bulan, bumi -> Tata Surya -> Astronomi -> Fisika -> Sains
Paham? Mungkin belum ya. Hm, aku pendekkan, pada intinya GMT ini mengingatkan kecintaanku pada sains.
Sejak aku masih berada di bangku sekolah dasar, aku tidak pernah lepas dari berbagai hal mengenai sains. Aku menyukainya, aku tidak pernah merasa keberatan ketika aku harus membaca buku sains, aku menyukai berbagai hal dan ilmunya. Hal itu mengantarkanku keberbagai kompetisi dan olimpiade mengenai sains. Dan bukan besar omongnya saja, saat itu aku selalu mendapatkan juara. Berkali-kali aku keluar kota, mewakili kabupaten untuk berlomba di tingkat yang lebih tinggi. Dan hal yang paling berkesan adalah ketika aku mewakili provinsi untuk olimpiade sains di Jakarta. Saat itu aku tidak sendiri, ada juga wakil dari kabupatenku yang bisa mewakili provinsi kami, dan kami berteman sampai saat ini.
Saat itu, aku merupakan seorang anak desa yang benar-benar belum mengalami kemajuan teknologi berarti, bertemu dengan perwakilan anak-anak dari seluruh Indonesia.    Dari luarnya, mereka tampak sangat pandai, dengan kulit putih, mata sipit, kacamata, and english speaking nya membuatku benar benar minder. Bagaimana tidak saat itu aku masih SD kelas 5, belajar bahasa inggris baru empat bulan. Mereka? Oke katanya sudah les inggris sejak TK. OH MY GOD. Aku harus kuat membawa kamus-kamus besar setiap training dan seminar, mereka? Tinggal dengarkan dan bicara. Selain itu, ada hal yang tak pernah terlupakan. Waktu itu, kami diberi soal. How to counting the total amount of hair fastly? Bagaimana cara menghitung rambut secara cepat. Kami berpikir, dan mengumpulkan jawaban ke depan kelas. Beberapa jawaban dipilih oleh tutor dan dibacakan. Dan jawabanku termasuk yang dibacakan dan ditertawakan seluruh isi kelas. Dan ketika ditanya ini lembar jawab siapa, aku menunduk dengan kemampuan paling dalam supaya tidak seorang pun tahu itu milikku. Kuberitahu bagaimana cara yang kutuliskan, aku bilang pertama potong rambut setengan botak tapi jangan sampai terlalu botak, kemudian lapisi kepala dengan cat hitam, setelah itu tempelkan kain putih ke atas kepala sehingga akan muncul titik-titik hitam sebagai ujung rambut, kemudian hitung dengan komputer. Itu jawaban yang kutuliskan di lembarku, yang saat itu sebenarnya aku belum mengerti kemampuan apa saja yang bisa dilakukan oleh komputer. Banyak yang sebenarnya terjadi saat itu, tapi aku tidak bisa menuliskan semua, takut curahan ini menjadi menjemukan.
Dua tahun kemudian aku naik ke junior high school. Disini aku mengenal suatu bagian dari sains yang lebih menarik yaitu fisika. Aku sangat menyukai fisika. Dari kelas satu dan dua aku bisa mengerjakan soal fisika dengan kecepatan yang sama ketika guruku menulis soalnya di papan tulis. Jadi saat itu tulisanku jelek sekali, karna aku harus bisa menulis soal dengan cepat sambil menjawabnya. Itu menyenangkan, berlomba dengan guru. Sama seperti ketika di SD, ketika SMP pun aku diikutsertakan olimpiade fisika hingga keluar kota. Saat itu, aku mendapat patner seorang jenius, kami berlomba bersama. Namun, dia mendapatkan takdir yang sangat baik. Dia bisa mendapatkan juara yang hadiahnya merupakan beasiswa hingga S2, beruntungnya dia. Entah, saat ini dia berada di negara mana. Aku masih tertahan di sini.
Kemudian ketika aku SMA, kebetulan aku juga masuk ke sekolah favorit di daerahku, inilah awal perjumpaanku dengan astronomi. Sebenarnya ini bukan pilihanku, namun guruku yang menuntunku kemari. Saat itu aku terpilih untuk bisa mengikuti seleksi peserta olimpiade sains. Waktu itu aku masih kelas 10 bersaing dengan kakak kelas untuk menentukan peserta yang akan mewakili sekolah. Kami mendapatkan soal yang sama. Dan ketika pengumuman aku terpilih mewakili bidang astronomi. Yah, kenapa bukan fisika? Aku sedikit kecewa ketika guru fisikaku mengatakan bahwa sebenarnya dalam seleksi peserta fisika kemarin aku mendapat skor tertinggi, tapi karena aku masih kelas 10 aku dimasukkan ke astronomi. Oh begitu, membuatku semakin pasrah. Ya, pada saat itu aku belum belajar banyak mengenai astronomi hingga aku belum bisa menyumbangkan piala untuk sekolahku. Namun, di kelas 11 aku berusaha semaksimal mungkin sehingga aku bisa membawa sekolahku ke tingkat provinsi. Perhitungan mengenai jarak bintang, usia bintang, sudut matahari, memprediksi usia galaksi, perhitungan supernova, menjadi hal yang menyenangkan. Sejak itu setiap melihat langit dengan mudah aku bisa menemukan rasi bintang scorpio, gubug penceng, planet venus, mana bintang yang jauh, mana yang dekat, dan itu menyenangkan. Dan sejak saat itu aku percaya bahwa untuk mendapatkan yang terbaik memang membutuhkan persiapan yang matang. Inilah ceritaku mengenai kecintaan terhadap sains, saat ini aku sudah tidak bisa menikmati itu semua. Aku tidak bisa mendalaminya lebih baik lagi. Di jurusanku saat ini, bukan sains yang menjadi hal utama, namun humaniora. Memang pernah dibeberapa semester ada mata kuliah fisika, dan aku sangat senang ketika akan menerima kuliah itu, namun ekpektasiku terlalu tinggi, fisika yang kuterima saat itu sama dengan mata pelajaran ipa yang aku terima saat SD atau paling tinggi yang aku terima saat aku SMP. Dan yang membuat aku heran, hampir semua teman-teman sekelasku tidak menyukai mata kuliah itu dan merasa kesulitan ketika mengerjakan nya. Bukan nya sombong, ini perhitungan waktu itu masih dasar, itu masih sangat mudah.
Sains telah membawaku ke berbagai pengalaman yang tidak pernah aku lupakan. Aku tidak menyesal pernah mempelajarinya. Namun, hal yang membuatku sedikit kecewa adalah ketika aku tidak bisa mempelajarinya lagi. Sedikit demi sedikit, waktu memupusnya dari memori ingatanku, memenuhinya, menggantinya dengan hal lain.  Aku tidak bisa melanjutkannya, perjalanan sainsku berakhir ketika aku berdiri di jurusan pilihan terkahirku.
Pernah aku merasa ketidakadilan ketika mereka yang dulu pernah berjuang bersamaku di dalam sains, yang saat ini bisa berada di kedokteran, sains, dan teknik, bisa menuangkan ilmunya melalang buana menyeberang pulau dan negara, sedangkan aku berdiri disini. Inikah yang namanya takdir?
Aku menarik napas dan harus kembali tersadar. Aku sudah berada di sini hampir 3,5 tahun. Harus bisa menyelesaikannya dan memperbaiki takdir.  Perjuangan belum berakhir, masih harus kuat dan terus berjuang. Mencintai yang sudah dijalani tanpa keluh. Bersyukur atas segala sesuatu.   



0