Suatu hari dimana kulihat matahari bersinar dengan terik, langit membiru tanpa awan, dan jalanan cukup lekang untuk berlalu, aku melihat seorang terduduk menepi di sisi sebuah jalan. Dia terdiam, sebagian terawang matanya seakan digunakan untuk berpikir, bukan untuk melihat berbagai hal di di depannya. Entah apa yang dipikirkannya saat itu.
Aku berlalu di depannya dan berhenti. Dia menyadari kehadiranku. Aku tersenyum, dia tersenyum. Dia mengambil alih kendaliku dan dengan segera kami telah berada dalam jalan yang sama. Aku berdoa, kubuat tanda salib, memohon kepadaNya untuk melindungi makhluk-makhluk kecil ini dalam berjalan di duniaNya ini.
Kunikmati semua yang ada sepanjang perjalanan ini, sinar terik matahari, langit biru, angin kencang, tawanya, suaranya, semuanya kusimpan dan kurapikan dalam hati.
Kali ini kurasa perjalanan berjalan dengan cepat. Tanpa terasa, warna biru laut dengan derunya telah terlihat di ujung mata. Aku mulai banyak bicara, dimulai dan selalu dengan pertanyaan kecil yang mungkin tidak begitu penting. Namun, dia yang di depan selalu bisa menjawab pertanyaanku walaupun mungkin bukan dengan jawaban yang tepat. Lucu sekali, mungkin dia ingin terlihat tau segalanya di depanku.
Sesampainya di tujuan, baru kusadari banyak sekali orang di sana. Aku berjalan di sampingnya dan kutengok dan kusaadari betapa pendeknya diriku. Mungkin hanya setinggi bahunya saja. Bahkan aku harus mendongakkan kepalaku untuk bisa melihat ia berbicara. Seperti anak kecil yang ingin berbicara kepada ayahnya.
Kami beriring semakin mendekat ke bibir pantai. Kulihat ke arah laut. Sepertinya agak berbeda dari terakhir kali aku melihat pemandangan ini. Aku berhenti sejenak dan memandang berkeliling dan pandanganku berhenti ke arahnya. Aku menunjuk ke arah pemecah ombak, karena rasa penasaranku, kuajak dia kesana.
Kami berjalan dan berjalan terus hingga hampir berada di ujung pemecah ombak itu. Sebelum sampai di ujung. Aku merasa ragu untuk mendekat. Kulihat sekelilingku, warna biru gelap laut semakin jelas. Gelombang berjalan yang lebih besar daripada yang terlihat di pantai pun bergelombang lebih kuat. Ujung pemecah ombak itu basah, menandakan terkadang ada ombak yang mampu melewati tinggi batas pemecah ombak itu.
Dia menawarkan apakah aku ingin kesana atau tidak. Pertanyaan itu sengaja dilontarkannya mungkin karena melihat ada keraguan dan sedikit rasa takut dari wajahku. Diantara ketakutkanku, aku mengiyakannya. Dia meyakinkan aku, bahwa ini semua akan baik-baik saja.
Kami mendekat, untuk sejenak aku merasa baik-baik saja. Namun tiba-tiba, dia berkata dengan nada datar. “Ombaknya besar.” Hwa? Ya, aku melihatnya. Ombaknya besar. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku takut. Sekilas kudengar orang-orang disekelilingku berteriak dan berlari. Namun, ketakutan membuatku tidak bisa bergerak. Yang aku ingat saat itu, aku mendekati punggungnya dan aku memejamkan mataku. Aku benar-benar takut. Aku pasrah. Namun, kurasakan sebuah refleks. Tubuhnya berbalik dan tangannya memegang erat pundak dan lenganku, menarik kepala dan tubuhku ke badannya. Dan seketika gelombang air yang besar dan keras mengguyur kami, menghantam punggungnya yang membentengiku. Dengan mata yang masih terpejam, kugenggam erat lengan bajunya. Aku takut, benar-benar takut. Namun, ketika kubuka mataku Puji Tuhan, tak ada hal buruk yang terjadi. Hanya saja aku melihatnya basah kuyup, benar-benar basah kuyup.
“Kenapa tadi tidak lari saja, hah?” dia bertanya sambil melepas kacamata dan mengibaskan rambutnya yang basah. Aku hanya bisa menjawab tak tahu dan menggelengkan kepala hingga aku tersadar bahwa ternyata aku juga basah. Aku bergetar, tanganku dingin dan gemetar.

0 komentar:
Posting Komentar