Disini tertulis segala hal yang menjadi bagian dari goresan di atas kertas kehidupan sebagai sketsa dari gambar yang membentuk diriku.

Rabu, 29 Februari 2012

Sekali dalam Empat Tahun


Memory, 29 February 2012 8:32 PM
Selalu saja malam
Malam menemani, malam menuntun
hari ini sekali dalam empat tahun
Mengenangnya dalam untaian kata
Sebelum waktu menghapusnya
Hari ini-kemarin-dan kemarin lusa
Tiga hari mengoyak rasa
Keegoisan yang mengambang
Kepasrahan yang melayang
Tangisan yang merambat
bergemakan keraguan
Dalam kekosongan kamar
Sendirian….

Butir-butir manik hijau
Satu-persatu terlewat dengan untaian doa
Di tiga perempat malam
Hati bergetar, memohon kebaikan
Harapan kuserahkan
Satu kan menjadi jawaban
Entah..

Malam sudah malam
Terdengar kabar kawan
Membawa bingkisan pemberi harapan
Aneh hati tak bergejolak
Puji Tuhan
Apapun…..
Sudah.... 
ya.....





0

Kamis, 23 Februari 2012

malam tanpa hujan

Hari ini malam
Melangkah tanpa hujan dan halilintar
berbisik dalam sepi dan keresahan
tidur tak tenang bangun tak nyaman
sesuatu mengusik jiwa
tanpa terdeteksi itu apa
aku bertanya
aku kenapa?
Ingin menjawab karena,
tapi tak tau alasannya

malam terlalu malam
atau bahkan lewat tengah malam
mata menerawang diantara yang terpejam
berharap sosok kan datang 
selayang pandang membawa kabar 
sebungkus cerita kawan,
namun berbayang malam
pasti terpejam pula
 
seperti sebuah tembang
"meskipun berat menekan,
rasa kata diucapkan,
namun tuk mu jua ku sampaikan
dengarkan petuah dan pesan"
lagu kenangan tujuh tahunan
lagu penghiburan di kala waktu berjalan lambat
aku kesepian?
malam tanpa hujan
ada apa gerangan?
retoris karena aku menjawab
ini hanya sebuah kegelisahan
:(
 

0

Jumat, 17 Februari 2012

Just a Piece of Paper

Selembar kertas kecil yang kutemukan di laci kelas berisikan kalimat yang menarik hati.  :)
Jika kegagalan diibaratkan sebagai "Hujan" dan keberhasilan digambarkan sebagai "Matahari", maka kita butuh keduanya untuk bisa melihat "Pelangi"
0

Kamis, 16 Februari 2012

It was cloudy and rainy. But, I didn't see any rainbow.

Di Balik Mendung
Detik jam menuntunku melewati ribuan kalimat dalam satu hari di sekolah. Berganti jam berganti bapak atau ibu angkat kami di sekolah tak mampu mengusir rasa kantuk dan beratnya kelopak mataku. Entah kenapa, hari ini, setiap jam pasti sangat nikmat bila aku bisa memejamkan mataku barang lima menit saja.
Bosan menanti detik jam yang terasa lebih lambat dari biasanya, kulepas jam tanganku dan kuhilangkan dari edaran mataku. Ayolah please, waktu, berjalanlah lebih cepat. Aku menanti.
Sepertinya caraku berhasil. 15menit lagi bel pulang. Jika sudah seperti ini, mataku langsung segar kembali untuk terbuka.
Namun, segera saja kurasakan bau tanah oleh air, selayang pandang kulihat hujan turun. Dalam hati, “Ya, Tuhan..hujan ya?”
Bel berbunyi. Tidak seperti teman-teman lain yang segera saja keluar kelas. Hujan kali ini malah membuatku enggan bergerak dari kursiku. Memandang buku perlajaran dan leptop yang masih setia berantakan di atas mejaku, ku letakkan kepalaku di atasnya, memejamkan mata, dan berharap. “Hujan.. Please, jangan lama-lama.”
Jujur, biasanya aku suka hujan, aku suka suasana bercanda dengan teman-teman ketika hujan. Menghabiskan waktu di depan kelas dan membasahi diri dengan percikan air yang turun dari atap depan kelas. Aku suka itu.
“Nna, pulang? Bareng ya?” Aku memandang ke arah suara itu dan mengangguk. Setelah membenahi barang-barang, aku berjalan ke luar kelas, memandang hujan, dan mengirim sebuah pesan. Ya sudah..

Jalan yang basah, kaki yang basah, tangan yang basah, wajah yang basah semuanya meminta untuk kunikmati. Sambil tetap memegang stir, aku memandang langit. Mendung. Eh? Langitnya mendung, dan hujan turun! Tapi aku tidak melihat pelangi.

0

Selasa, 14 Februari 2012

Ganjil Tiga Kali


Sepanjang siang aku menyusur. Melihat jalan depan beriring terik siang menusuk kulit.  Dalam hati aku bersenandung, “.. dan aku mulai bertanya dalam hatiku sendiri…”. Lagu sendu yang sedikit mendinginkan kepalaku siang ini. 


Sepanjang jalan pulang aku berpikir. Aku ingin bercerita, aku ingin menulis, tapi hal apa yang akan ku tulis?  Namun, segera saja aku mendapatkan suatu hal atas muculnya tulisan ini sesampainya aku menyalakan tivi di rumah.

A crazy little thing called Love. Sebuah film Thailand yang sudah ganjil tiga kali ku tonton. Bedanya, film kali ini tadi diputar di televisi.  
Kenapa aku ingin menulisnya? Sebab, rasa yang sama selalu muncul di film itu. Miris dan menyayat. Sebuah film sederhana yang memperlihatkan besarnya pengaruh kekuatan cinta. Kekuatan cinta yang mampu mengubah Nam menjadi seorang gadis cantik dan pandai. Nam yang tadinya hanya memendam rasa kepada Shone, memang pada akhirnya menyatakan cintanya. Nyatanya, sungguh menyakitkan ketika ternyata Shone sudah berpacaran dengan Pin. Adegan pengungkapan cinta ini yang paling menarik diantara adegan-adegan lain menurutku. Nam kasian sekali, ia tercebur ke kolam renang dengan air mata yang terus mengalir dari kedua matanya. Ketegarannya dengan keluar dari kolam renang tanpa menyentuh tangan Shone sungguh mengagumkan. 

Untunglah film ini happy ending. Shone ternyata juga menyimpan rasa pada Nam. Mereka saling setia menunggu dan akhirnya dapat bersatu setelah Nam pulang dari Amerika.
Cerita film ini mengingatkanku dengan hari kemarin.
 
Saat itu, aku berjalan menuntun seekor kuda. Ayah dan Ibuku sudah melangkah lebih dulu ke depan. Mereka menunggangi kuda mereka masing-masing dan berjalan beriring. Kami melewati sebuah jembatan panjang dan melingkar. Entah kenapa, aku lebih senang berjalan kaki dan menuntun kudaku. Mengelus wajahnya dan menuntunnya pelan.
Tiba-tiba  saat aku berjalan, jembatan itu putus dan secara spontan aku mendengar bunyi lonceng. “Kring kring..” Aku kaget dan membuka mataku. Ternyata ini mimpi.
Berat rasa kelopak mata ini terbuka. Sinar mentari yang masuk berbaris kecil memberi tanda bahwa hari sudah menjelang sore. Di antara ketidaksadaranku terbangun dari alam mimpi ini, sayup kudengar suara dari arah pintu depan. Seseorang berkata, “Ada?” . Sepertinya aku mengenal suara itu.
Lalu dengan terhuyung langsung kuberlari ke arah depan. Dengan kelopak mata yang setengah terbuka, rambut berantakan, pakaian seadanya dan aku pun yakin wajahku pasti tak karuan. Aku bertanya, “Ada apa?”.
Mereka menghampiriku, mengajakku duduk dengan kesetengahsadaranku dan wajah ayub-ayuben-ku. Jujur, aku tidak bisa membuka kelopak mataku saat itu. Mereka mengutarakan maksud mereka. Awalnya aku tak bisa menangkap dengan jelas. Lalu aku ijin kebelakang untuk sekadar membasuh wajah dan berganti pakaian.
Aku kembali ke ke tengah mereka berdua. Mereka kembali bercerita meminta bantuan. Aku mendengarnya hingga selesai dan tersenyum. Lalu berkata, “Oke, ayo pergi.”
**
Setibanya di suatu tempat yang kami putuskan. Kami bertiga menyusur almari-almari kaca. Mengamati satu persatu. Mana yang kami cari? Mana yang menarik hati? Mana yang indah?
“itu?” aku mencoba mengutarakan pendapatku. Ia pun setuju. Telah kami dapat di tempat ini, “bunga putih bermata” . Aku tersenyum, mereka tersenyum.
Untuk mencari yang kedua ini cukup sulit. Telah beberapa tempat kami hampiri. Lalu di tempat terakhir, kami pun mendapatkannya. Rajutan indah karya Sang Pencipta Keindahan. “Bermahkota Putih”.Satu hal ini benar-benar menarik perhatian mata dan hati kami bertiga. “Indah sekali.” Kataku. Kulihat mereka mengangguk, pertanda setuju akan ucapanku.
Usai sudah perjuangan siang ini. Setelah aku “diculik” dari tidurku dan membantu mereka dengan masing-masing rasa mereka. Satu kalimat dariku, “Selamat berjuang kawan…”
Dengan seulas senyum melihat lambaian tangan mereka setelah mengantarku kembali pulang ke rumah, hatiku berbisik, “........................”.

**
Begitulah ceritanya.  Di pagi ini aku menanyakan kabar dan mereka tersenyum. Dengan membaca senyum mereka, aku tahu dan yakin mereka telah berhasil. Puji Tuhan.




0