"dia pantas buat diperlakukan dengan layak. "
Kalimat itu adalah sebuah ungkapan kasihan (mungkin) setelah mendengarkan sebuah perjalanan yang sudah terlampaui setahun ini.
Sebuah jalan yang awalnya sulit dan berlalu dengan tetesan air mata kelemahan.
Dia bahkan sudah lupa bagaimana rasanya melalui harinya.
Mungkin dia terjebak di antara kesulitan dan kenyamanannya.
Dia di dalam kisi ambiguitas. Sebab dia pun tak paham cara memaknai. Bukan karena dia tidak memakai hati, malahan dia terlalu memaksa hatinya. Dia lupa hatinya pernah sakit dan terluka, namun masih saja bekerja dengan keras.
Dia tidak berpikir. Entah tidak bisa berpikir atau karena sudah tumpul. Dia ingin berpikir tapi hatinya tidak menginginkannya.
Sepertinya dia butuh konsistensi. Dia tidak punya itu. Hatinya tidak memiliki kata itu. Dia tidak terlatih.
Dia, Sendu. (1)
Kalimat itu adalah sebuah ungkapan kasihan (mungkin) setelah mendengarkan sebuah perjalanan yang sudah terlampaui setahun ini.
Sebuah jalan yang awalnya sulit dan berlalu dengan tetesan air mata kelemahan.
Dia bahkan sudah lupa bagaimana rasanya melalui harinya.
Mungkin dia terjebak di antara kesulitan dan kenyamanannya.
Dia di dalam kisi ambiguitas. Sebab dia pun tak paham cara memaknai. Bukan karena dia tidak memakai hati, malahan dia terlalu memaksa hatinya. Dia lupa hatinya pernah sakit dan terluka, namun masih saja bekerja dengan keras.
Dia tidak berpikir. Entah tidak bisa berpikir atau karena sudah tumpul. Dia ingin berpikir tapi hatinya tidak menginginkannya.
Sepertinya dia butuh konsistensi. Dia tidak punya itu. Hatinya tidak memiliki kata itu. Dia tidak terlatih.
Dia, Sendu. (1)